PEDULI YANG TAK DI ANGGAP

Hoax jadi UU Teroris
Foto : ilustrasi puisi

Peduli yang tak di anggap
Teriakan di anggap gerylia
Hegemoni Undang-Undang yang salah tertafsir
Hoax jadi ancaman teroris?
Bunuh saja kami
Tak ada gunanya kami harus hidup
Jika harus di penjara dalam berpikir

Waras dimana kamu bersembunyi?
Kami sedang benyanyi mencari akal sehat
Kenapa sembunyi semakin menjadi
Kemana kami mengadu
Jika kewarasan tidak pernah ada di dalam akal sehat

Pengkhianat semesta tertera dalam-dalam
Terbungkus jeruji sistem tanpa transparan
Demokrasi berada pada kapitulum ketersesatan
Hilang makna di era orba yang berkelanjutan

Aduhai siapa yang akan menjadi kapit
Jika kapitalis telah melayangkan jurus sampit
Rakyat terbentrok akibat olahan pikiran sempit
Hoax menjadi iming-iming sumpit
Makan sehari sekali sudah sangat sulit
Melgamkan semua warna kulit
Aturan yang kian menghimpit
Mengapit seluruh titik oleh elit
Hampa melilit

Demokrasi ucap iwan
Nasi menjadi tai ucap wiji
Tertelan dan terkonsumsi oleh tubuh negeri
Hitamkan pandangan semua penguasa
Harta tahta dan wanita adalah semboyan utama
Tameng ampuh untuk merebut kuasa
Rakyat mari berpuasa


TANPA KATA

Foto : penulis
Telah kehabisan cara
Tuk sekedar menyapa mu dengan kata
Kini tinggal derita
Terdiam dalam dekap luka
Nun jauh dalam palung jiwa

Aku hendak merangkai aksara
Untuk kesekian kali aku menyapa
Namun hampir mu tak kunjung berada
Kemana lagi aku harus bersua
Jika jelma mu tak kunjung nyata

Aku tengah berkelana
Mencari diri di atas cakrawala
Semua cakra telah melebur menjadi bara
Hilang lenyap bersama luka

Entahlah
Disini terdiam bersama luka yang menganga
Tanpa kata
Tanpa rasa
Memaki masa lalu
Menghindar pun tak bisa

Kita pernah sama-sama jatuh cinta bukan?
Menyelami indahnya bahtera
Terluka dan bahagia
Mengarungi seluruh samudra
Namun satu hal yang tak sama
Kita pernah jatuh cinta
Namun aku terjatuh padamu
Dan kau terjatuh pada dia
Itulah pembeda

MENGENANG JUBAH KEKACAUAN BIROKRASI

Foto : ilustrasi puisi
Kelak kelakar akan datang
Lelucon malang di tiap kedai
Hamburkan isu di benak para pemimpi
Aktivis hilang dalam gejolak nista
Kawula muda hidup dalam patriot sejati
Namun kemana merebah tak ada tempat
Siapa peduli?

Kasihan sekali
Nasibmu kini hanya menjadi penonton terbaik
Instrument sistem berkiprah di atas karpet merah
Semua bersujud pada wujud tuan Tuhan tua

Ironi negeri yang selalu terjadi
Tragedi trisakti hingga morowali
Kemanusiaan hanya sebatas tinta di atas kertas usang negeri
Hahaha cerita lama yang tak lagi pergi

Kembali
Mengenang jubah kekacauan birokrasi
Negeri dongeng hikayat samudra pasai
Mitos lama di ujung mimpi
Kesejahteran hanya wacana dan janji
Keadilan lebih populer dari dilan 1990 dan para fraksi partai
Mari ceritakan tentang mimpi
Kita adalah garda pembasmi feodalis dan borjuasi
Revolusi harga mati
Revolusi harus mati
Harus siap masuk jeruji besi

Jangan pesimis
Sehelai daun mampu mengguncang istana
Selembar surat mampu meruntuhkan feodalis
Mari bermimpi
Kita akan mengguncang negeri
Sebab kekuatan besar akan terkalahkan oleh kekuatan terkecil apabila kita bisa mengendali
Mengendarai
Kita bisa

#melawan

Gie
30 Maret 2019
Pena pangit di kota tepian air

RINDU KU PADAM DALAM PENDAM

Foto : Rahayu Agustina
Menghakimi cinta yang ada di kepala
Kenapa selalu hati yang tersakiti?
Saat pikiran tertuju pada gelaga
Cinta yang kau tanam di bulan juni

Menulisku adalah jalan mencarimu
Menapaki jalan pikiran yang membawa rautmu
Kempali pada satu titik semu
Kau terangkum murung di sisi hulu
Hendak kemana layar kau padu

Tanda tanya datang pada suratmu
Ayal ayat yang tak pernah ku terjemahkan
Entah apa yang hendak kau maksud
Aku membebani pikiran dengan ribuan pertanyaan

Kenapa?

Rindu ku padam dalam pendam
Sekulum senyum ada di kepala
Meredam gurindam dalam-dalam
Menyelam hingga kedasar antartika

Dingin menyelimuti diri
Peri suci datang menghampiri
Bertanya tentang para sufi
Sunyi jalanku di sisi langit yang tak bertepi

Aku rindu yang di rindui
Dimalam bisu muak ku datang menghampiri
Gadis bisu di pinggir kali
Kalimat ini ku untai untuk sepi

Literasi cara ku merajut mimpi
Mimpi manis sang pujangga rumi
Cinta suci di ujung puisi
Kurajut kembali untuk mu wahai sang bidadari

Gie
30 Maret 2019
Pena langit di kota tepian air

LANGIT TERSAKITI

PUAN PERGI
Foto : ainun yakin
Rindu yang sangat jarang terjadi
Kini datang mengendali merajai
Menjejali setiap andai
Puan siapa dimana yang sangat pandai
Memborgol pikiran dalam-dalam tanpa puisi

Intuisi datang menghampiri
Selaksa pertapa suci yang tengah menyepi
Diri kian sepi pada ramai
Keramaian entah kemana terurai
Sepi sunyi di sudut ini
Ramai damai kan dimana diri
Kelangit mana cakrawala pergi meratapi
Dirimu kini kian pergi
Dari imaji semakin diri menjadi majazi
Hancur mimpi terhadir multatuli

Berlari

Pergi
Menjauh dari dingin yang memenjara diri
Hingga musim semi datang kembali
Membawamu untuk kembali
Menggenggam mimpi kita saat kau putus untuk pergi
Aku masih bermimpi
Disini
Bersama dirimu yang telah lama pergi

Kau siapa aku tak mengerti
Kemana jua aku mencari
Mencari diri pun puan jua dirimu bak bidadari
Hilang lenyap di telan bumi
Langit tersakiti
Aku terhenti
Kita sama-sama tak saling mengenali
Kita harus kembali
Aku disini

Gie
29 Maret 2019
Pena langit di kota tepian air