 |
Foto : Aktivis Inspirasi |
Aku belajar dalam sunyi, memahami dilema-dilema manusia yang mendekap dan memeluk tubuhnya sendiri demi bisa berpikir menyikapi segala persoalan yang ia hadapi. Dilema dalam sunyi memberi isyarat hati agar tetap tenang dan tetap mengenang di setiap inci arah putaran jarum jam yang kita lewati, memahami semua, merangkai semuanya menjadi sesuatu yang bermakna meski itu hanyalah sebuah ilusi belaka yang tak pernah tenang ketika tersentak dalam kesadaran dimensi sendiri.
Sementara bagi para filsuf langit, mereka berdilema dalam satu fase pertapaan sunyi, membezakan semua yang hak dan yang batil, memaknai semua skenario langit, yang kemudian mereka wakafkan tubuhnya pada penghambaan yang hakiki, dan menjadi majazi sejati pada Tuhan dan keyakinan yang mereka yakini.
Bukankah Kita adalah orang-orang yang berjalan di luar nalar manusia, kita tak mengikuti pandangan siapapun, namun kebenaran yang kita anggap benar adalah jalannya jalan yang harus kita tempuh.
Ah, mimpi kadang tak indah jika sudah terbangun dalam pelukan tempat tidur. Kita adalah pemimpi untuk mencapai hal yang sama bukan? Bermimpi melihat Nusantara jaya dalam segala hal yang akan menjadi cerminan bangsa-bangsa lain yang ada di dunia?
Ya.... Seharusnya kita adalah orang yang akan sangat bahagia, tanpa harus melibatkan lingkaran hitam yang ada di setiap mata kita, karena tidak tidur karena menahan pilu dalam rindu. Menjejali malam dengan sumpah serapah yang mematikan malam tanpa kehadiran sang terkasih ketika rasa ingin bertemu itu hadir di dalam hati dan pikiran kita.
Seharusnya masa depan kita adalah cerah, sebab tak saling memikirkan antara satu sama lain, yang kian membuat kita buta. Tapi kita lebih memilih untuk tetap pada satu pendirian yang meyakini bahwa kita berjodoh namun doa kita belum terpaut dalam tangan Tuhan yang akan menyatukan kita. Kita memilih untuk saling bercinta dengan teori-teori dunia yang memecahkan kepala, lalu berdiskusi di atas meja kedai kopi sambil mengisap batangan rokok yang mungkin kita bagi satu sama lain dalam satu batang.
Seharusnya kita sadar kita adalah garda terdepan Bangsa yang akan membawa perubahan bangsa kita kepada arah pembaharuan yang lebih maju. Memikirkan setiap gerak dan geopolitik dan kestabilan Negara, pun jua keamanan dalam kancah dunia. Namun kita terlalu sibuk memikirkan hal-hal besar untuk berlangsungnya umat manusia dengan penerapan juga penyatuan teori-teori barat dan timur agar terpadu dan terciptanya keseimbangan informasi, sehingga dalam penerapan wacana untuk kemajuan peradaban mampu kita langsungkan dengan sebuah pergerakan pada mimbar jalanan.
Seharusnya masa depan kita selalu dan akan cerah, menuai mimpi dengan penyatuan hati pada satu cita dan cinta yang akan di saksikan oleh para petani. Kita berdua dalam satu altar mengikrarkan satu janji suci di depan para wali. Bercerita tentang perjuangan kita masa lalu sambil menanam benih-benih padi di sawah, lalu berjalan bergandengan tangan di pematang sawah hingga para petani lain cemburu melihat kita.
Seharusnya pernikahan dan masa depan kita tak serumit jaman ini, tak perlulah kita memasang pelaminan yang megah, juga memboikot dan memblokir jalanan kota dengan tenda, tanpa memikirkan hati para pengguna jalan yang getam karena pesta kita mengganggu perjalanannya.
Seharusnya pelaminan kita adalah padi yang menguning, yang menjadi bunga pengantin atas restu alam pada mimpi kita. Dan Seharusnya kita adalah dua hati anak petani yang akan bermadu kasih di atas pematang sawah setelah para petani memberikan doa restu pada upacara sakral kita.
Seharusnya kita
Semoga
Gie
08 April 2019
Pena langit di ujung senja