PENYEBAB DEGRADASINYA PERGERAKAN MAHASISWA

Foto : penulis
Penulis : Desti
Editor : Ginanjar Gie

"Masa kini adalah masanya kita. Siapa yang diam, dia akan ditinggalkan dan dilupakan oleh Sejarah. Hanya orang kritis dan beranilah yang membuat perubahan”

Sejak jatuhnya Soeharto pada bulan Mei 1998, mahasiswa Indonesia terpecah menjadi dua blok besar. Kalau dulu mahasiswa berhimpun dalam satu barisan untuk melawan rezim diktator yang terkenal otoriter dimana tenaga, waktu, air mata, keringat, bahkan darah menjadi taruhannya, dimana para martir intelektual berguguran dan betapa mahal dampak huru hara setelah peristiwa-peristiwa tersebut, kini mereka seperti terpecah.

Saat ini terdapat blok yang melanjutkan tradisi heroik sebagai kekuatan parlemen jalanan yang blak-blakan saat menyoroti masalah kebangsaan dengan segala resikonya, namun adapula blok yang bersikap apatis dengan acuh tak acuh dalam menyikapi masalah-masalah kekinian, barangkali kita telah kehilangan musuh bersama sehingga menjadi demikian, dan begitulah yang sering terdengar.

Memang pada kenyataanya, setelah reformasi bergulir, kendati tidak serta merta membuat keadaan sosial, politik dan ekonomi jadi lebih baik, tetapi kebebasan mulai dapat dirasakan bukan hanya oleh kalangan aktivis tapi juga masyarakat pada umumnya. Orang-orang mulai bebas bekumpul, berpendapat, bahkan yang dulunya pengecut intelektual kini mulai berani keluar dari tempat persembunyian dan mengklaim sebagai pahlawan reformasi.

Sistem pemerintahan dirombak dan setelah reformasi, bergulirlah untuk pertama kalinya rakyat dapat memilih calon pemimpin mereka secara langsung. Setelah kekuasan beralih, keadaan menjadi lebih nyaman, gerakanpun lambat laun mengendur.

Sejatinya mahasiswa merupakan sebuah kekuatan besar yang telah mencatatkan namanya pada panggung sejarah di negeri ini. Gerakan mahasiswa di Indonesia adalah kegiatan kemahasiswaan yang ada di dalam maupun di luar perguruan tinggi yang dilakukan untuk meningkatkan kecakapan, intelektualitas dan kemampuan kepemimpinan para aktivis yang terlibat di dalamnya.

Dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia, gerakan mahasiswa seringkali menjadi cikal bakal perjuangan nasional, seperti yang tampak dalam lembaran sejarah bangsa. Sejak tahun 1908 sampai dengan tahu 1998, mahasiswa menjadi penyeimbang pemerintah yang represif, diktator dan bertindak semena-mena. Ada kebanggan tersendiri, bukan soal menurunkan diktator Soeharto; tetapi bagaimana perjungan akan keadilan dan kesejahteraan itu bisa mahasiswa sumbangkan kepada negara tercinta ini.
Saat ini, sejujurnya mahasiswa kehilangan orientasi gerakan.

Gerakan mahasiswa menjadi mandul, tidak substansif dan hanya sekedar corong sponsor saja. Idealisme yang di agung-agungkan sejak masa lampau akhirnya dengan sendirinya tergerus oleh zaman yang menghadirkan persaingan yang tidak sehat.

Aspirasi mahasiswa menuntut perbaikan dalam segala bidang kehidupan bangsa Indonesia harus dijamin oleh kepastian hukum. Sedangkan yang disebut hukum bagi bangsa Indonesia adalah hukum yang berkedaulatan rakyat, bukan hukum yang hanya menguntungkan dan menguatkan penguasa. Hal inilah yang belum dicapai oleh bangsa kita hingga saat ini. Oleh karena itu yang harus dilakukan oleh bangsa Indonesia saat ini adalah mengembalikan kedaulatan kepada rakyat, kedaulatan milik rakyat, kedaulatan rakyat.

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah siapa dan bagaimana kedaulatan rakyat dapat dikembalikan ke tangan pemiliknya?. Fenomena ini semakin menakutkan dan saban hari benar-benar mengguritalah sikap apatis dan tidak masifnya perjuangan mahasiswa dalam menyampaikan aspirasi.

Kemandulan idealisme menjadi sebuah tuduhan awal untuk menjawab fenomena ini, dan angan sampai hal ini akhirnya menjadi mitos, bahwa kemandulan aksi dan perjuangan mahasiswa bertekuk lutut pada yang namanya fashion and food, atau dalam bahasa trend kita sekarang yang di sebut dengan pencitraan.

Dalam kacamata penulis, realiats yang terjadi kurang lebih sesuai dengan bahasa publik yang sering di ganungkan di dalam media sosial bahwasannya. "Mahasiswa apatis versus mahasiswa idealis (aktivis)."

Mahasiswa sekarang dalam pandangan sosial telah berkotak-kotak, dan masing-masing melindungi idologi kepentingan kelompok dan pribadinya, seperti halnya partai politik, mahasiswa sekarang dikendalikan oleh sebuah sistem kepentingan kelompok tersebut, hingga akhirnya mengakibatkan degradasi pada tingkat pembangunan infrastruktur dan Sumber daya manusia.  Karena srjatinya revolusi sosial haruslah terjadi dengan cara persatuan persepsi mahasiswa dimana sebagai generasi yang memegang tongkat estafet kemajuan sebuah bangsa.

Mendalami persoalan ini, seharusnya mahasiswa tidak mementingkan egisentrisnya atau kesenangan dan kemenangan diri sendiri dan seharusnya tidak perlu ada kotak yang memisahkan mahasiswa agar tercapai mimpi bersama dalam membangun bangsa yang kita cinta bersama ini.

"Perjuang kami sangat mudah karena kami hanya melawan penjajah, sedangkan perjuangan kalian sulit karena melawan bangsa sendiri"
Kutipan di atas tidak seharusnya kita amini dengan cara mengkotak-kmengkotak-kotakan diri dengamasing melindungi ideologi kepentingan, karena srjatinya kita adalah mahasiswa yabg akan memberi warna untuk kemajuan bangsa indonesia.

Sebagai seorang mahasiswa, yang hendak berbuat banyak bagi orang lain disekitar, sebenarnya inilah pilihan yang sebenarnyaharus kita ketahui bersama dan yang harus kita rubah secara totalitas secara bersama. Hilangkan pengkotakan dan satukan kembali seluruh elemen mahasiswa di bawah panji ”kedaulatan rakyat” dan dibawah ideologi "sumpah mahasiswa."

Kita bisa lihat dengan anaoisis bahwa Kemunduran ini merambah sampai kedalam tubuh organisasi-organisasi kemahasiswaan. Banyak mahasiswa yang memilih menjadi intelektual tradisional (rumah-kampus-rumah). Mungkin karena tuntutan hidup yang tidak menganjurkan mahasiswa untuk berlama-lama di kampus. Kuliah hingga 5 tahun atau lebih saat ini, bukan sebuah hal yang patut untuk dibanggakan. Biaya kuliah semakin mahal dari tahun ke tahunnya. Sehingga pilihannya cuma kuliah dan kuliah. Tidak untuk yang lainnya. Dalam kasus ini kita tidak bisa menghakimi kawan mahasiswa yang lainnya sebagai bagian dari yang tidak berkepedulian terhadap persoalan rumit bangsa ini. Hal ini bertolak belakang dengan para aktivis yang menyebut dirinya sebagai pelopor pergerakan atau kaum idealis. Menjadi intelektual organik adalah pilihan hidup. Yang tetap menjaga jangan sampai idealisme mahasiswa untuk memperjuangkan kesejahteraan sirna oleh kemilau kemajuan teknologi yang memudahkan hidup dengan mengenyampingkan semangat berpikir.

Kemampuan berpikir kritis mahasiswa terpasung oleh tawaran menggiurkan bernama globalisasi dan pasar bebas yang menyediakan segala sarana bagi manusia. Juga di dalamnya mahasiswa.

Persoalan kedua elemen (aktivis vs apatis) ini masih berkutat pada saling menjatuhkan dengan argumen masing-masing. Bagi saya secara pribadi cukup logis dan cemerlang dalam hal saling mempertahankan pendapat. Dua blok inilah yang saya yakini selalu bersengketa dikampus manapun. Mahasiswa aktivis menganggap mahasiswa apatis sebagai mahasiswa yang tidak peka, pragmatis, oportunis, pengkhianat intelektual, atau belum menyadari hakikatnya sebagai mahasiswa. Sebaliknya mahasiswa apatis menganggap mahasiswa aktivis sebagai orang-orang yang tidak ada kerjaan, yang sok ikut campur, keras kepala, cari ketenaran dan mengidap penyakit sok pahlawan. Pada keadaan seperti ini, tiap mahasiswa dari blok manapun harus mengedepankan akal sehat sebagai bukti kalau mereka adalah bagian dari komunitas intelektual.

Seharusnya eksistensialisme dan elitisme yang ditampilkan masing-masing blok segera dikikis bahkan dihilangkan, dan seharusnya kita mengingat dan merenungkan kembali catatan-catatan sejarah yang selalu menempatkan mahasiswa kritis ataupun pemuda sebagai pioneer perjuangan dalam menyatakan kebenaran. Jangan samapi blok ini yang dulu pernah berdarah-darah ketika memperjuangkan dan merebut kemerdekaan, menjatuhkan diktator soeharto,dll. Kini menjadi sebuah dongeng sebelum tidur.

Patut pula kita sadari bahwa tanpa radikalisme pemikiran mahasiswa kritis dan dukungan mahasiswa ataupun pemuda pada umumnya, niscaya sampai hari ini sejarah hanya akan melewatkan lembaran-lembaran kosong dalam buku catatanya.

Sampai pada pemikiran ini apa yang selayaknya kita lakukan? Terus maju dan pekikkan terus semangat perjuangan yang tak kenal henti. Sejatinya kita perlu reorientasi arah gerak dan perjuangan mahasiswa. Kita perlu ret-ret mempertanyakan sejauh mana kontribusi kita bagi bangsa ini. Dengan sejenak mengabaikan sejarah, kita perlu turun ke titik nadir untuk berkontemplasi dengan waktu dan diri kita mengkritisi sendiri jalan panjang perjuangan yang telah mahasiswa rintis di negeri ini.

Imbasnya cukup besar, sebagian besar organisasi mahasiswa mengeluhkan hal yang sama. Kekurangan kader militan yang secara kualitas dan kuantitas seimbang. Yang ada bukan hanya kader karbitan yang sesekali waktu bisa meninggalkan organisasi tanpa permisi. Organisasi intra kampus apalagi. Kini saatnya kita bangkit dari tidur panjang dan mimpi indah mengenaiheroiknya perjungan mahasiswa dulu. Itu dulu. Dulu sekali. Lampau.

Sekarang? Penting bagi kita memahami, saatnya kita bangkit dan bersatu. Dengan berbagai macam identitas kita yang perlu kita tampilkan cuma satu: MAHASISWA INDONESIA. Yang bersatu, teguh dan berintelektual. Hilangkan perbedaan kalau persamaan adalah kekuatan kita. Hilangkan persamaan kalau kita bisa menerima perbedaan sebagai jalan keluar terbaik untuk bersatu. Keduanya merupakan pilihan jitu bagi pengembangan kehidupan berbangsa dan bagi masyarakat agar tidak perlu jauh-jauh dari kata sejahtera.

Kita tidak ingin melihat perang saudara antara mahasiswa kritis dan mahasiswa apatis/pragmatis. Jika memang ada sesuatu yang tidak beres, ayo kita duduk bersama, berdialektika, dan mengerucutkan apa ataupun siapa musuh bersama kita dan musu itu adalah kapitalisme. Karena senjata kita adalah kata, dalam semangat persaudaraan, dan tetap berpedoman pada nilai-nilai kejujuran, keadilan, dan kebenaran. Harapan kita adalah seluruh blok mahasiswa (kelompok mahasiswa apapun) dapat bersinergi tanpa harus saling melempar stigma pada blok lain. Betapapun berat masalah-masalah kekinian, sudah seharusnya menjadi topik pembicaraan dan dicari solusi penyelesaianya. Daripada permusuhan, sungguh saya rindu melihat mahasiswa-mahasiswa dari strata sosial, agama, etnis dan latar belakang manapun berteriak dengan lantang dalam satu barisan kalau mereka adalah intelektual Indonesia yang melawan kejoliman di negeri ini dalam untaian pembebasan.

Kita hidup di dunia nyata. Segala impian dan kenangan mengenai perjuangan dan pergerakan mahasiswa bolehlah tetap ada tetapi jangan sampai kita terus terbuai olehnya. Tetap beraksi, fokus, dan mengedepankan intelektualitas sebagai kekuatan satu-satunya kita. Mahasiswa tidak bertindak dengan senjata. Bagi kita, senjata adalah kata-kata yang keluar dari kemurnian hari dan kejujuran dalam bertutur.

Satu lagi "Bangkit melawan diam ditindas"
Salam pembebasan
salam perjuangan bagi seluruh mahasiswa Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

terima kasih telah mengunjungi dan mensuport halaman kami kk