SEBUTIR PELURU DI SUDUT GERBANG

Foto: ilustrasi puisi
Sebutir peluru di sudut gerbang
Terlindes terinjak kaki pejalan jalanan
Hentak terkaget sang hati anak polos
Peluru karet bukan lagi kawan

Peluru itu berbentuk lonjong kuningan
Tertulis pin angka di ujung sisa
Dua digit digit dua
Entah apa maknanya aku tak mengerti

Peluru itu ku masukan dalam saku celana
Ku buang di pinggir kiri trotoar
Suara kiri tak boleh mati karenamu kawan
Karena kau bagian dari kiri mulai sekarang

Peluru itu misterius kawan ucap sahabat ketika bermain gitar
Peluru itu menembak seorang anggota berwajah kriminal
Hingga pahanya terkena peluru
Menjelma handphone sebagai pahlawan

Pahlawan telah retak bersama dengan selamatnya paha dari peluru
Sang anggota berteriak dengan lantang dengan emosi
Aku bunuh kalian semua jika benar aku berdarah
Sinisnya memandang karena paha yang satu terkena batu misterius pula

Kasian
Bahkan anggota mengamankan anggota
Bentuk dari terstrukturnya rencana propaganda
Alangkah indah stratag penguasa

Kalian mau lawan?
Intc adalah lawan stratag kutu buku
Hahaha bergidik semua bulu kuduk
Tak akan mampu tak akan bisa

Ingat kawan
Kalian adalah jalang jalanan bagi mereka
Kalian adalah sampah peradaban bagi mereka
Tapi jangan sampai kau berkecil hati
Karena aku selalu bersama jiwa-jiwa pembebas kaum tertindas

SUARA YANG RINDU AKAN KEADILAN

Foto : ilustrasi puisi
Suara berakhir di penjara
Pelopori semua hasil semu
Gerakan masif hancur di mimbar jalanan
Kini tinggalkan meja hijau yang akan mengambi alih

Hantu-hantu berkeliaran dimana-mana
Tak terbang namun berjalan layaknya anak harimau
Liar tanpa cakar mengaum tanpa busana
Hendakkah kiri terisolir di muka bumi?

Asap gas air mata adalah senjata pamungkas
Meneteskan air mata meski dalam laga perang
Apa yang hendak kau tangisi?
Tanya sang ibu penjual somai di pinggir trotoar

Air mataku jahat Tuan ujar seorang gadis saat menyapa wajah muram petugas
Aku bukanlah dari air mataku
Air mataku air matamu yang kau tumpahkan lewat diriku
Karena aku yakin generasi dari anakmu akan mengalami nasib yang demikian yang kini tengah kami alami

Kembali besok kata teman di atas surau
Namun senjata tak mampu di hadang oleh kekuatan Toa di tepi atap
Sekali terbang asap gas mengepul
Air mata kembali berlinang di atas sana

Loakkan kata seorang pengendara di jalanan
Sampah ucap seorang petugas saat mengejar para pencari keadilan
Busuk ucap media dalam headline deadline
Tetaplah semangat dan hidup ucapku dalam hati
Karena suara yang rindu akan keadilan tetap abadi
Seabadi fajar merah saat pagi datang
Seabadi fajar merah ketika melantunkan senandung kebenaran tak pernah mati

MEMAHAMI TAKDIR

Foto : penulis dan si jenggot keramat
Menghardik diri dan yakin ini
Coba ku pahami
Namun semua tetap tak terbaca
Aku hilang dalam gelap
Merintih di sudut jalan
Aku tak terbaca
Aku terbuang
Aku tak ternilai

Sempatku terdiam dan memahami segala soal ini
Namun semua tetap terlilit dalam kabut yang menganga

Tanyaku
Akankah semua kembali berwarna?
Akankah kanvas kusam mampu kembali memekarkan bunga?

Aku diam dalam dekapan luka
Memahami torehan takdir dalam goresan pena Tuhan
Hingga diri melebur dalam diri
Agar cahaya kebenaran mampu di tampung oleh hati

NARASI BUTA

Ilustrasi puisi
Narasi rindu yang ku untai di awal hari
Merasuk embun di telinga sang alam
Hingga lahirkan intuisi kepekaan pada luka sejarah
Lahirlah sang jalang jalan di mulut pengutuk nostalgia
Yang memberi harapan hampa pada sosok yang masih percaya akan sebuah rasa suci pada nurani

Narasi itu adalah bubuk mesiu
Pembunuh saat ia bertemu dengan suatu gesekan
Berseteru satu dengan lain demi sebuah ego
Hingga jalan pikiran yang satu terbelah pecah berkeping entah seluluh lantak apa
Haus melanda
Kerontang di pelihara
Sang alam bercerita tentang dunia dan penghuni yang rakus akan kemenangan diri
Hingga tak lagi ada nilai yang murni
Bahkan emas kini sudah menjadi barang dagangan penjual asongan
Karena gejolak liar setiap pemikiran yang di pelihara oleh tiap anak manusia

Narasi rindu itu adalah kegoblokan pada diri
Memahami diri ranpa ada pemaknaan diri
Maka filsafat kini bernilai buta
Rindu adalah hampa yang tak berongga
Hingga lahirkan sebuah polemik luka tanpa sayatan
Di neraka bahkan di surga
Itulah luka tanpa
Semu semua
Tanpa makna semua bersuara
Tanpa ilmu ia menjelma sebagai filsuf
Lalu hilang tanpa jejak
Namun suara sucinya masih abadi
Hingga munculkan gejolak pada tunas yang baru lahir

Ah narasi itu kemudian hilang tanpa arti
Sedikitpun tak ounya makna
Teologi dan epistemologi masih di jajal oleh pikiran-pikiran
Lalu menggugurkan nilai pada harafiahnya yang telah bermuara dengan esensi murni

Narasi rindu yang buta
Bahkan semua masih tetap saja kalah padanya
Meski dusta membubuhi tiap perjalanannya
Masih ada kata maaf yang masih terselip di sela-sela luka yang di sayat
Itulah buta yang membunuh
Buta rindu
Rindu buta
Yang di nikmati oleh insan
Yang di abadikan oleh anak manusia
Yang di tiduri oleh jiwa murni para pendamba
Yang di lakoni oleh para penyair
Buta

PERCAYALAH WANITAKU

Aku rindu padamu
Pada setiap bayanganmu
Harmoni dalam hati mengalun sendu
Harus kau tau
Dunia terasa tak lengkap tanpamu
Seindah pelangi kau hiasi hariku
Ingat saat pertama kita bertemu

Kau sapaku dengan senyum manismu
Aku terjatuh dalam palung hatimu
Hey girl, i love you
Sungguh aku jatuh hati padamu

Hatiku bak di palu
Jika kau berlalu dari hidupku
Tolong rasakan rinduku
Yang bersemayam jauh dalam kholbu
Bahwa rasa ini tak ada lagi kata ragu

Percayalah wanita yang selalu memberi rindu
Bahwa begitu dalam cinta ini padamu
Hingga Tiap detik diriku hanya memirkanmu
Wajah dikau yg begitu memukau
Membuat diriku selalu termangu
Bermimpi untuk menjadi sesuatu yang bisa kau rindu

Tolong rasakan ditiap hembusan angin malam kusampaikan
Kau yang selalu hadirkan kenangan dalam ingatan
Yang setiap mengingatnya melahirkan tangisan
Untuk dapat berdamai dengan kenangan
Untuk mendapat sebuah kesejukan
Dalam hati yang inginkan kedamaian