JERITAN SAMPAH MASYARAKAT

Sampah Masyarakat
Bulan sabit bersama satu bintang
Bercerita tentang dinginnya malam saat musim hujan
Menusuk tulang menelisik dedaunan hembusan angin
Hingga sampah-sampah di sudut kota bertebrangan

Disudut gedung megah nan mewah tertidur lelaki bujang
Sampah-sampah buangan menerpa wajah kusutnya
Hingga terbesit dalam nuraninya
Hendak di bagaimanakan sampah-sampah itu?

Sampah-sampah itu kemudian lahirkan puisi
Di pelataran lotre seorang penyair gila hendak bersenandung
Tentang sampah kota juga sampah masyarakat

Penyair itu kemudian mengurai aksara dari kediaman hati yang bisu
Hendak mengukir keangkuhan tafsir setiap pikiran
Hingga lahir sebuah gejolak di jiwa para pecinta
Laku apa yang tak pernah punya kesan?

Semua laku adalah cerminan jiwa katanya
Namun tak semua cover itu tercermin dalam hati
Sahut seorang pemuda dengan celana compang-camping saat ia termenung
Karena semua yang kita lihat belum tentu benar
Maka pandanglah semuanya dengan rata dan samar
Ucap datarnya di lubuk hati yang tak sempat bersuara

Kau berbicara tentang pakaian?
Kau bercerita tentang tutur kata?
Kau berbicar tentang wibawa?
Semua itu adalah semu dan semua jiwa adalah jongos bagi jiwa yang lain
Kau tak akan mungkin bisa menafsirkan pikiran setiap kepala

Jangan pernah lihai melihat sesuatu yang belum kau dalam
Karena di dalamnya tercermin sesuatu yang belum pernah kau tau
Maka bangunlah dari penghinaan jiwa manusia pada dirimu
Lenyapkan mereka
Nisacaya kau akan bisa menjadi manusia sempurna

Jangan lagi kau menilai semua dari kacamata mu
Tapi lihatlah dari dalam dan dasar kholbu
Bahwa ada ayat yang tak bisa kau tafsirkan di ujung makna yang kau nilai
Karena jauh di dasar jiwa kau tak pernah melihat bagaimana jeritan sampah masyarakat bergumam

Jeritan sampah itu tetap ada
Merusak lingkungan bagi pepohonan
Merusak akidah dan tatanan sosial bagi masyarakat
Sementara bagi sampahnya adalah pembebasan kebebasan

Bulan sabit itu masih tetap bercahaya
Berikut bintang yang tak pernah berhenti mengoceh
Kepada manusia yang memuji kecantikan rembulan
Tanpa mereka tau cahaya nya adalah matahari
Dan rupanya adalah tanah tandus kering berdebu

Lalu bulan berbisik pada bintang
Tak usah bercerita dan bersuara untuk menilai manusia
Karena mereka sadar
Sampah itu terlahir dari barang berharga sebelum mereka nista
Ucap hati yang tak sempat bersuara
Di ujung senja sebelum malam kembali menerka
Menghasut tafsir dari sudut pandang kata faedah
Menghimpit pikiran dari kata cerna
Hingga lahirlah sebuah kata
Pikiranmu adalah penjara dan kebebasan bagimu
Maka gunakanlah dengan bijak sesuai irama alam yang telah tertera

RINDU DAN RASA ADALAH KITA

ILUSTRASI PUISI
Sebagian rindu harus berbunyi
Dan sebagian lagi tetap tersembunyi
Agar ada keseimbangan nurani
Demi terwujudnya cita tanpa harap pasti
Karena benar adanya
Jika rindu tanpa jumpa
Jika cinta tanpa balas
Kesakitan yang menganga adanya

Sebagian rasa harus tetap terjaga
Sebagiannya lagi biarkan ia bermuara bersama air di dasar hulu
Agar tak ada yang mampu menerka
Sehebat apa ia tergiring di dalam selimut air yang deras

Rindu dan rasa adalah kita
Dua jiwa tanpa paut di ujung senja
Memercikkan air-air dahaga perjumpaan
Di sela wudlu subuh nguap terbasuh
Terpaunya keduanya adalah satu yang menyatu
Memberi kebahagian yang siap merasuki tiap jiwa anak manusia
Itulah cinta yang hakiki

MEMOAR SANG PRESIDEN

Foto : Ilustrasion Puisi
Sanak gembala menanggung beban
berikan isyarat tentang keyakinan
Tentang keyakinan yang tak mampu memapah
Adil semakin kerdil bahkan tanya tak sanggup lagi untuk di jabah
Kaum borjuis datang menyapa
Menjelma sebagai pengemis
Sementara di luar sana congkaknya begitu angkuh

Memoar Sang President
Melakoni seluruh untaian dalam koalisi.
Meliberalkan semua misi demi pencitraan periode indonesia revolusi.

Indonesiaku
Di jamanmu para komunis bisa bersuara dengan lantang.
Di jamanmu media mewartakan katak yang meninggal
Dijaman mu....!!

Pion bergerak tanpa tinta
Indah dari sidik jarimu terpancar cahaya kebijakan
Lalu melahirkan sebuah sariat yg berlaku tanpa isyaratmu


Presidenku
Salut ku
Aku mengagumimu dengan segenap kata yang memuakkan.

Penulis : Ginanjar

AIR MATA LANGIT KEPEDIHAN

Foto : ilustrasi puisi (sumber foto : Barry kusuma)

Air mata pada keabadian kasih langit kepada bumi kembali tercurah sebagai rahmat bagi penghuni bumi
Hadirkan pesona pada tiap helain daun pepohonan jati di samping kuburan tua, hingga sang melati memekarkan bunganya sebagi simbol ia telah belia dan memberi tumpuan pasti pada lelaki bujang tanpa ayah di sebuah gubuk samping jalan-jalanan
Sembari melihat pelukan nestapa pada hati yang tengah nelangsa pada kenangan, lelaki itu jauhkan harap pada langit, karena mimpi kini hanyalah sebuah angan di tengah duni yang kini semakin tua
Karena hujan baginya adalah cambuk nostalgia yang sangat mengerikan berikut kenangan pada ayah dan bunda yang telah lama tiada karena terseret banjir tahun lalu

Kenangan itu kembali hadir dalam kenangan pikirannya, ia berandai dalam hati agar di dalam hujan ia berteriak mengutuk langit yang teleh merenggut kebahagiannya dan yang telah membawa kedua orang tuanya terbaring lesu di balik papan yang telah di semai oleh manusia-manusia sosialis
yang tengah asyik berbincang dan memberi ucap kasih pada jiwa mungil yang di tinggal oleh kedua jasad tanpa nyawa yang tengah mereka kuburkan.

Kedua mayat yang sekaligus adalah ayah dan ibu si laki-laki malang itu di kubur di sebelah timur kampung
Ternama kuburan tua yang keramat lagi angker karena di sana adalah tempat berkumpulnya jiwa-jiwa arwah penasaran yang meninggalkan kasih sayangnya di atas hamparan tanah merah yang tengah menguburinya

Kuburan tua tanpa hiasan bunga dan pohon kamboja kuyup di lumuri air mata tangisan kerinduan awan
Batu kapur dan batu nisan sebagai tanda bahwa masih ada bekas kehidupan yang tertanam di dalam perut bumi yang tengah di banjiri luapan kesedihan
Banjiri semua makam-makam tua, bekas-bekas sampah dan fosil dedaunan yang telah busuk kini telah di aliri dan di bersihkan oleh kesucian hati yang menumpahkan air mata
Air itu adalah air suci, Rahmat Tuhan yang tersalur lewat bersenggamanya kerinduan dua alam
yang telah tertakdir tak akan bisa bersatu

Air itu kemudian kembali ke muara kemana dan dimana ia berasal
Sebagian meresap ke lubang-lubang tanah dan sebagiannya mengalir ke hilir lalu bermuara di lautan tanpa tepi meski pantai adalah sandaran bagi sebagian jiwa yang tercerai
Lalu air itu kembali hadir di gubuk peot milik seorang petani yang tengah menunggu hasil panen di esok pagi yang tanamannya telah di satukan dengan hilir air kasih sayang yang bermuara ke samudra
Air itu adalah air mata kesakitan petani, karena banjir dan air melimpah ruah sedari pagi telah menenggelamkan padi bawang cabe dan semua hasil taninya

Di seberang pulau seorang gadis belia tengah berdiri di pinggir pantai, dengan mata di lumuri air mata darah
Sempat tertanya olehku lewat mendung yang menghiasi pelataran langit dan juga raut wajahnya
bahwa ada hikayat alam yang tengah ia pecahkan dan sempat harap tertanam dalam hati bahwa ayah yang tengah di nanti di tepi pantai kembali hadir bawakan kebahagian dengan kehiodupan masih bersama raganya
Namun angin laut bertiup angkuh hingga badai di samudra antartika hadir mengajak menari ombak yang ada di tiap muara lautan
Hingga hadirlah duka pada hati si gadis belia yang tengah menanti ayahnya yang telah tenggelam di dasar lautan bersama hujan dan badai yang di bawa oleh kesedihan langit dan kecemburuan awan pada bumi

Gadis malang datang dengan segala harap kepada langit, berpanjat pada setitik harap yang hampir punah karena sakit itu adalah kepedihan yang membawa keyakinan hampir hilang pada ketuhanan
Lalu dengan sedikit yakin yang masih membekas pada kholbu, ia bangkit terperanjat dari keterpurukan karena kepedihan hati karena di tinggalkan oleh ayah dan bunda
Ia berharap di sepertiga malam semoga cinta yang abadi akan terwujud dalam satu fase kesempurnaan pasangan dari alam kejadian ia menjadi seorang jelmaan Hawaniah

Gerakan tangan Tuhan kemudian kembali membelai keduanya, tanpa peduli pada jarak dan waktu, mereka bertemu dalam satu gubuk seorang petani yang tengah meratap karena hasil panen yang seharusnya menjadi penunjag hidupnya di beberapa bulan yang akan datang, kini ludes terbawa oleh alir air ke hilir yang menuju hulu tanpa nurani.
Jiwa-jiwa yang tersakiti oleh hujan kenangan pembawa petaka kini berpaut dalam satu gubuk kecil seorang lelaki tua tanpa istri di tengah hutan yang jauh dari hunian warga
Hingga terciptalah sebuah masa depan baru yang akan memberi warna cerah di masa yang akan datang

Lelaki malang dan si gadis malang itu kemudian bertemu pada satu nasib yang sama dan takdir yang menyamakan untuk di pertemukan, meski mereka adalah jiwa yang terpisah oleh pulau dan  air mata langit dan juga lautan luas yang membentanginya
Mereka adalah satu jiwa yang takdirnya tertulis rapi untuk sebuah ujian jiwa yang di beri kehilangan untuk orang-orang yang mereka kasih dan sayangi berikut yang paling berharga dalam hidup dan kehidupannya
Jiwa-jiwa mereka tengah melalang buana di atas langit, di tengah hamparan samudra, di dalam surga sambil berpelukan dengan kedua orang tuanya, juga sedang merana di atas ranjang yang sudah kusut karena di makan waktu yang tak mau tau akan kepedihan dan kesdihan yang di berikan air mata langit pada kisah mereka

Dengan di wakili walimahan dan wali nikah seorang petani tua di gubuk peot
Kedua jiwa yang di obrak-abrik oleh masa lalu kini menjadi satu, berpaut dalam satu hubungan abadi dalam kesaksian burung-burung yang berkicau di pagi hari dan bunga yang bermekaran tanda kemarau telah tiba dan musim gugur telah sampai dan kebahagian mereka tak akan mungkin bisa di gugurkan oleh musim apapun, karena janji jiwa yang pernah di hina oleh waktu, di sakiti oleh masa adalah benar tak akan menyia-nyiakan orang yang telah memberinya kebahagian setelah badai duka telah terlewati bersamanya.

TERKEKANG DALAM SEBUAH JALAN

Foto : Penulis
Imajinasi nakal kembali datang
Menghampiri liar yang kini ku bina
Hengkang terkekang dalam sebuah jalan
Menuju sirath keabadian ilusi



Sudah lama ajali terpendam
Terperanjat dalam didih yang masih belia
Himpun mengapit liar yang masih bersemayam
Dalam loak-loak silam yang kelam

Luluh lantang juntai tergontai
Penjara tanpa sel kini bergembok di sarang kepala
Hadirkan narasi keakuan tanpa hakul
Entah nisbih apa yang di cerna oleh tiap kepala

Lambain angan masa silam tetap menyapa
Hadirkan bayang-bayang tuak di meja bundar bahkan lingkaran setan
Bagai ribuan bunga perawan di pinggir perempatan lampu merah
Hadirnya bawakan sebuah surga di ujung malam

Sudahlah
Semua angan
Semua ilusi
Bahkan penjara itu adalah pikiran sendiri

Semua semau semu
Hadir menjajal liar pikiran
Hingga ku yakini satu kata
Pikiran adalah semu jika tidak bergerak.!!

#HIJRAH
07 November 2018
Kota Bima
#kamar_kontrakan
Ginanjar Gie