REBOISASI : KAMBALI MBOJO MANTOI

Foto : ilustrasi Puis (sumber : polres Bima)
Kulihat wajah termurung sepi bercampur gelisah ketakutan nampak jelas dirona wajah yang mulai memudar cahaya
Wajah yang biasanya selalu memancarkan sinar kedamaian
Kini seakan redup bahkan telah mati padam
Bersama gundulnya tiang-tiang bumi

Air deras tak tertahankan
Tak terbendung hilir menuju hulu
Penginapan warga terendam dalam bahtera nabi nuh
Dosa apakah yang telah di buat kaum
Hingga azab tertimpa tanpa kenal ampun
Daratan penuh dengan kerikil batu lumpur
Sampah berserakan dimana mana
Akankah ini cobaan atau karma..??
Entahlah
Yang ku tau siapa yang menabur angin akan menuai badai
Jika memang pohon harus dibabat habis lalu untuk apa ada slogan "jaga alam?"
Untuk apa ada gerakan penghijauan?
Untuk apa Reboisasi?
Sementara manusia sudah tak ada lagi yang peduli

Ahhhhhhhhhhhhhhhhhh
Wahai manusia yang mulai lupa
Sadarlah wahai manusia, hatimu penuh dengan keserakahan dan keegoisan.
Tidakkah kau dengar jeritan mereka?
Burung-burung yang kehilangan sangkarnya
Babi yang kehilangan hutannya
Apakah mereka tak punya hak untuk seperti hifup seperti kita?
Sadar sayang-sayang ku
Tangan Tuhan tak akan lagi menurunkan kasih sayangnya jika kau selalu merusak alamNya.

Tidakkah kau memikirkan anak-anakmu?
Tidakkah kau memikirkan sudara-saudaramu?
Tidakkah kau memikirkan orang tuamu?
Tidakkah kau memikirkan tetangga-tetanggamu Tiadakah di hatimu orang-orang yang dirasa kau sayangi?

Sadarlah saudaraku
Mereka akan menerima akibat dari ulahmu
Demi kepuasan nafsu dan terpenuhinya kebutuhan sesatmu
Kamu rela menggadaikan nyawamu
Tak memikirkan nyawaku
Tak memikirkan nyawa mereka

Lihatlah saudaraku
Lihatlah dengan nuranimu
Lihatlah dari pendengaranmu
Lihatah dengan liarnya imajinasimu
Alam yang dulunya tenang yang penuh dengan nyanyian burung tak ubahnya seperti padang pasir tandus, hampa, panas dan terbakar

Alam yang biasanya mengajarkan kita tentang kekuasaan Ilahi
Yang mengajarkan kita tentang arti bersyukur akan nikmatnya
Yang mengajarkan kita saling menjaga
Yang mengajarkan kita saling menyayangi
Yang mengajarkan kita saling melindungi,
Yang mengajarkan kita saling menghargai ciptaan Tuhan
Kini tak lagi kujumpai

Kemana dia pergi?
Apakah dia telah dimusnahkan?
Apakah dia telah dihilangkan?
Atau mungkin telah dibunuh secara liar dan tragis?
Entahlah..!!!!
Yang jelas aku rindu alamku yang dulu
Kita rindu Reboisasi kambali mbojo mantoi

Hal baru untuk kita renungi
Pohon-pohon rindang tak ada lagi tempat tuk berteduh
Binatang-binatang liar kini tak pula kita jumpai
Burung-burung hilang lantunannya di tiap pagi
Kemanakah mereka?

Mari kawanku
Mari saudarku
Kita wujudkan reboisasi kambali mbojo mantoi
Kita tanam seribu pohon kebaikan
Kita tanam tanaman-tanaman kebajikan
Melalui jiwa peduli alam yang kita miliki
Ayo
Bergeraklah sayang-sayangku

Ada wajah yang berseri-seri dan mata yang selalu penuh kasih sayang
Menanam ide menanam pepohonan tumbuhan
Agar kembali Bima ku
Kambali Mbojo mantoi yang sangat di rindukan
Agar hijau tanah ku
Agar hijau gunung ku
Agar hijau desa ku
Agar hijau kota ku
Agar sejuk hati kita
Merekalah tokoh sejarah peradaban kita
Kita Bima
Kita Mbojo
Kita indonesia
Para pecinta alam dan lingkungan yang sedang mwlakukan penanaman 1000 pohon

SAKAU PADA CANDU RINDUMU

Foto : Penulis
Hujan kembali menyapa
Menyatukan intrik do'a para perindu yang tertidur
Di tepi senja yang sedang melambai
Hendak pulang ke pangkuan sang malam

Paru-paru masih butuh asap untuk penetral
Dalam alunan cangkir kopi yang mulai men-dingin
Tuk menutupi pori-pori kulit yang bergidik
Tengah menggigil atas hembusan sang bayu

Kedinginan ini tetap dalam fase murni
Karena mengingat pelukan itu selalu saja membuat tubuh bergetar
Karena hangat pelukanmu membuat ku sakau pada candu rindumu

Yaaa.....
Atas nama rindu yang tak pernah padam yang ku pendam
Cangkir kopi yang masih setia bersulam
Lintingan asap ngebul yang melayang terdiam
Menyaksikan pikiran yang kalem
Raut wajah yang masih saja ku selam
Meski dalam dan pekatnya begitu kelam
Rasa ini tetap sekokoh pualam
Sekam

DIAM MU MEMBUNUHKU

Foto : Pencuri hati
Aku tak mengerti dalam diam mu
Seutas senyum masih membekas dalam rautmu
Namun dingin dan membeku gerak lekukannya
Apakah ada sebait kata yang kau pendam
Hingga dalam aksara mu tak mampu kau urai dalam kata

Apakah sesemu itu warnamu?
Hingga pelangi si ujung bumi tergilas oleh siluet fatamorgana
Ataukah ada sebutir doa yang maaih runyam dalam tanyamu yang ingin bersuara apakah harus mengimani atau mengaamini semua fatwaku
Entahlah....

Sebait luka dari senyumku dan juga senyummu
Membeku di semesta tabib tabir rasa
Menyulam luka dalam jiwa yang kaku
Atas kekikukan makna sunggikanmu

Jauh
Sungguh sangat jauh
Kita berada pada satu kampus
Namun tak pernah saling bersua
Itulah jauh yang paling jauh
Bahkan lebih jauh dari semua kenangan masa silam

Diam
Diam mu menyesakkan
Diam mu menyengsarakan
Diam mu membunuhku

DILEMA SUNYI

Foto : ilustrasi Puisi
Dedaunan menyulam embun di pagi buta
Sebelum sinaran mengusirnya dengan paksa
Tertimbun rindu dalam secangkir kopi
Pagi kenangan hilang di sapa siang

Aku mengemban tugas oleh hati
Merawat rasa agar tetap pada satu oase
Tetimbun rindu mulai di hasut jelaga
Sebab liar mata tersihir oleh keampuhan raut ikhtisar

Tertuju sekelumit senyum di ujung antero
Tersenyum bias sebelum muson meniup lenyap
Intuisi-intusi rasa di pelataran lazuardi
Mengemban tugas penyebar indah keindahan

Indah langitku dan juga senyummu
Menyapa pagi siang malam dan tiap waktu
Namun raut yang lagi ku geluti
Menepis bayangmu yang kini ku yakini

Dua dalam satu hati sebelum tiga melengkapi
Hati berdialek dalam dilema sunyi
Entah siapa yang akan berujung pada altar suci
Yakinku semua adalah jodoh yang terikrar

Ringkih hati memilih satu
Namun harus tertakluk pada senyum yang kini membias
Gerangan apa yang ingin di pilih
Pinta hati tak menyorot satu raut

Ah.....
Dilema rindu dalam sunyi
Lalu lalang begitu ramai
Namun masih saja sunyi menghampiri
Atas kisah tiga dalam satu tafsir
Jodoh apa yang hendak ku maknai

Kau kamu dan dia
Adalah satu yang selalu di hati
Ijinkan aku miliki semuanya
Meski dua hanya dalam jiwa
Dan satu bentuk raga

Dilema mencintai tiga bidadari
Itulah karma dalam diri
Membuyarkan pikiran
Membunuh naluri
Kebohongan juga bukan
Tapi itulah cinta yang mencintai

MENEPIS WARAS

Foto : Ilustrasi Puisi (sumber : panda)
Puncak asta dalam liar pikiran
Imajinasi melangkah berpapas dengan hutan rimba
Langkah lunglai tak jadi beban sang hati
Karena tenda-tenda kerinduan telah di bangun ribuan tahun lalu

Perjalanan jauh menjumpai langit
Kafilah-kafilah kenangan berlalu lalang
Melewati semua saraf kepala
Ingat mengingat semua peristiwa

Menepis waras dalam bingkai rindu
Entah rasa cinta ataukah keegoisan
Rasanya tak bisa di tepis kebencian berikut rindu
Karena ingin berjumpa namun tak tau dimana rimba itu

Gila........!!!!!
Aku gila
Ku rawat kegilaan ini
Ku peluk dengan mesra
Karena tak guna sadar jika dalam cahaya kebenarannya tak pernah melihat
Indah dan moleknya kesucian yang kau hias
Yang tertera antara ada dan ketiaadanmu

Terkuasai seluruh lereng bersama semua tenda para pendaki
Mencari puncak dalam sunyi rimba yang telah menghembuskan kabut
Di saat sang jingga kemilau di ufuk barat
Mars kembali memancarkan memantulkan biru langit yang hilang

Peradaban yang hilang di ujung senja
Bahkan mars ikut berwarna mengikuti hati
Menyatukan kesucian dalam jingga
Hingga debu-debu tak mampu di tepis cahaya

Mereka hadir sebagai santi dan santo
Sang petapa suci gumam hati yang tak sempat bersuara
Menghadirkan jiwa kembali dalam raga
Bahwa diri sedang tak waras lagi
Ia telah melihat dimensi yang tak pernah di jangkau manusia

Hayali rindu yang di hayati
Kerinduan pada semesta tabir penutup
Ia bukan dinding penghalang cahaya
Namun dinding hatimu yang tak bisa ku robek agar bisa menerima secercah harapan hatiku