KOLOSAL RASA

Foto : Ibu Doktor (Sang Inspirator)
Terpisah dalam bentala
Petala yang tak mampu di lipat
Terkam bengis tak mampu tertepis
Tajam yang menyayat dalam
Jauh antara antero dan jagat dimensi surga
Kolosal rasa yang tak mampu tertera
Dengan kata apa yang tak tau bagaimana
Pada haru kasih Tuhan yang wanginya tak tercium

Untuk kekasih hayalku
Yang hadirku bukan apa dan siapa
Memagari tidurmu dengan do'a
Agar kau selamat dalam perjalanan jauhmu

Sungguh

Merangkul langit inginku
Mengutuk matahari bukan aku
Merawat bulan citaku
Meredam luka hidupku
Menghapus ego nuraniku

Namun

Kata-kata ku tersendak
Kalimatku hampa
Aku tak mampu berucap
Hanya intuisi yang ku rangkai dalam puisi
Mampu ku untuk menguntai
Setelahnya
Aku tak lagi punya
Tenaga dan kekuatan untuk menggerakkan
Segala aksara adalah ketiadaan
Dan
Aku bisu

Suatu apa yang hendak tertanya
Hilang akal dalam menjawab
Pikiran tanpa arah kemana
Kini semu mati terjerambab

Kemana apa aku siapa
Rasaku adalah mata tanpa kata
Kelana kala senja
Mengejar gelagat silau lentera
Bermunajatku Pada semesta
Hadirmu yang sementara
Jangan lagi memberi luka
Sebab hati telah lama kenyang dengan sayatan cinta

Salam malam dalam kelam
Mengusikmu dengan kalam
Semoga kau dapat mengkhatam
Segala luka yang telah lama ku pendam
Agar tak lagi kau buat legam

Semoga engkau adalah Doa
Yang terucap oleh semesta
Saat mendengar ratapan hati
Pada jiwa yang telah lama sunyi

#pengagum buta
Gie
09 April 2019
Pena langit di  kota tepian air

MIMPI SANG AKTIVIS

Foto : Aktivis Inspirasi
Aku belajar dalam sunyi, memahami dilema-dilema manusia yang mendekap dan memeluk tubuhnya sendiri demi bisa berpikir menyikapi segala persoalan yang ia hadapi. Dilema dalam sunyi memberi isyarat hati agar tetap tenang dan tetap mengenang di setiap inci arah putaran jarum jam yang kita lewati, memahami semua, merangkai semuanya menjadi sesuatu yang bermakna meski itu hanyalah sebuah ilusi belaka yang tak pernah tenang ketika tersentak dalam kesadaran dimensi sendiri.

Sementara bagi para filsuf langit, mereka berdilema dalam satu fase pertapaan sunyi, membezakan semua yang hak dan yang batil, memaknai semua skenario langit, yang kemudian mereka wakafkan tubuhnya pada penghambaan yang hakiki, dan menjadi majazi sejati pada Tuhan dan keyakinan yang mereka yakini.

Bukankah Kita adalah orang-orang yang berjalan di luar nalar manusia, kita tak mengikuti pandangan siapapun, namun kebenaran yang kita anggap benar adalah jalannya jalan yang harus kita tempuh.


Ah, mimpi kadang tak indah jika sudah terbangun dalam pelukan tempat tidur. Kita adalah pemimpi untuk mencapai hal yang sama bukan? Bermimpi melihat Nusantara jaya dalam segala hal yang akan menjadi cerminan bangsa-bangsa lain yang ada di dunia?

Ya.... Seharusnya kita adalah orang yang akan sangat bahagia, tanpa harus melibatkan lingkaran hitam yang ada di setiap mata kita, karena tidak tidur karena menahan pilu dalam rindu. Menjejali malam dengan sumpah serapah yang mematikan malam tanpa kehadiran sang terkasih ketika rasa ingin bertemu itu hadir di dalam hati dan pikiran kita.

Seharusnya masa depan kita adalah cerah, sebab tak saling memikirkan antara satu sama lain,  yang kian membuat kita buta. Tapi kita lebih memilih untuk tetap pada satu pendirian yang meyakini bahwa kita berjodoh namun doa kita belum terpaut dalam tangan Tuhan yang akan menyatukan kita. Kita memilih untuk saling bercinta dengan teori-teori dunia yang memecahkan kepala, lalu berdiskusi di atas meja kedai kopi sambil mengisap batangan rokok yang mungkin kita bagi satu sama lain dalam satu batang.

Seharusnya kita sadar kita adalah garda terdepan Bangsa yang akan membawa perubahan bangsa kita kepada arah pembaharuan yang lebih maju. Memikirkan setiap gerak dan geopolitik dan kestabilan Negara, pun jua keamanan dalam kancah dunia. Namun kita terlalu sibuk memikirkan hal-hal besar untuk berlangsungnya umat manusia dengan penerapan juga penyatuan teori-teori barat dan timur agar terpadu dan terciptanya keseimbangan informasi, sehingga dalam penerapan wacana untuk kemajuan peradaban mampu kita langsungkan dengan sebuah pergerakan pada mimbar jalanan.

Seharusnya masa depan kita selalu dan akan cerah, menuai mimpi dengan penyatuan hati pada satu cita dan cinta yang akan di saksikan oleh para petani. Kita berdua dalam satu altar mengikrarkan satu janji suci di depan para wali. Bercerita tentang perjuangan kita masa lalu sambil menanam benih-benih padi di sawah, lalu berjalan bergandengan tangan di pematang sawah hingga para petani lain cemburu melihat kita.

Seharusnya pernikahan dan masa depan kita  tak serumit jaman ini, tak perlulah kita memasang pelaminan yang megah, juga memboikot dan memblokir jalanan kota dengan tenda, tanpa memikirkan hati para pengguna jalan yang getam karena pesta kita mengganggu perjalanannya.

Seharusnya pelaminan kita adalah padi yang menguning, yang menjadi bunga pengantin atas restu alam pada mimpi kita. Dan Seharusnya kita adalah dua hati anak petani yang akan bermadu kasih di atas pematang sawah setelah para petani memberikan doa restu pada upacara sakral kita.
Seharusnya kita
Semoga

Gie
08 April 2019
Pena langit di ujung senja

JIKA SESUATU BUKAN SESUATU

Foto : penulis
Adalah jika sesuatu bukan bumi
Adalah sesuatu bukan matahari
Adalah jika sesuatu bukan bulan
Adalah jika sesuatu bukan planet
Adalah jika sesuatu bukan kita
Adakah lagi yang akan kita kenali?
Kita terkungkung dalam satu bait kolosal
Zigot mati tertimbun tanah di bumi
Matahari hilang cahaya di terpa api
Planet berhamburan ingin pergi
Kemana kita berpangku
Kita tak pernah sampai pada satu
Kenikmatan murni ada pada jasad semesta
Lalu kita akan berkata masih belum, atau sudah tidak?
Bukankah kelahiran adalah dari ketiadaan yang ada? Lalu kenapa kehadiran selalu menjadi sakit ketika perjumpaan berada di ujung kata pulang yang tak akan kembali?
Bukankah bumi, matahari, dan ribuan penghuni galaksi adalah milik semua pemilik?
Lalu apa hak kita memaknai pemilik dengan penentuan?
Tidak.....!!!!!!
Kita adalah sesuatu yang fana
Dan yang abadi adalah keberadan

Gie
07 april 2019
Pena langit di kota tepian air

RINDU YANG TERBENTANG DI ATAS LANGIT

Foto : Rena
Wahai rindu yang membentang di atas langit yang tak bertepi
Kuingin menggapai dirimu di atas sana
Ku terbangkan apolo-apolo kepastian tuk menggapai hatimu yang tak bertiang

Betapa
Pun hati ini telah terpaut oleh sosok yang bersemayam dalam jiwamu
Ku ingin merajut dua kalimat dalam satu kata untuk aksara-akasa butaku
Untuk semua intuisi yang menghadirkan raut wajahmu dalam pikiranku

Matamu multatuliku
Aku kerontang dalam syahadat cintaku
Aku terkulai layu dalam binar matamu
Aku tergores hatiku ingin merangkulmu
Aku ingin kau jadi bagian dari diriku

Tatapan matamu membentur dinding kalbuku
Terasa ada gemuruh yang tak mampu terelakan
Dalam hatiku yang ingin berontak menerjang untuk pergi merangkulmu
Namun didi diriku tak sanggup melakukannya

Ratapan kasihku pada sosokmu
Sosok yang sekali bertemu namun menyimpan sejuta kenangan
Kenangan pada binar matamu yang indah
Yang memenjara jiwa bebasku untuk tetap terkungkung di bawah majazi oleh senyummu

Rangkain kataku tak mampu menerawang
Sedalam apa endapan terpendam dalam hatiku yang inginkan dirimu
Namun yakinku
Aku sudah tak tau lagi diriku
Sejak aku menatap matamu
Aku mati dalam hadirmu

Gie
TAMAN AMAHAMI
06 April 2019
Pena Langit di kota tepian air


MENULISLAH MAKA ENGKAU AKAN ABADI

Foto : 2LBC (Tule Baca)
Lintas Literasi Bima Comunity
"Belajarlah menulis sampai kau lupa kapan waktunya  harus berhenti menuangkan guratan aksaramu di atas kertas" Gie

Mengapa harus "Nulis?" karena setiap orang setidaknya harus menanam sebatang pohon, memiliki anak atau menulis sebuah buku agar abadi. Ketiga hal tersebut akan melampaui batas usia kita, memastikan bahwa kita tetap di kenang. Kata di atas diucapkan oleh seorang pejuang revolusioner sekaligus penyair, "Jose Marti." dan kata tersebut sudah di setujui dan itu mewakili kesepakatan banyak orang, bahwa buku diciptakan supaya kemanusiaan tidak lenyap begitu saja.

Memang dengan adanya buku, pikiran dan gagasan seseorang akan selalu di kenang. Manusia dari zaman ke zaman dapat terus menikmati kehadiran seseorang melalui ide yang tertulis di buku. Bahkan dalam sebuah peribahasa Latin di kenal dan sudah tidak asing lagi di telinga kita tentang bahasa ini, "Verba Volant, scripta manent" yang artinya : "Kata akan melayang pergi, sementara tulisan tinggal menetap".

Menulislah maka engkau akan abadi dan di kenang oleh sejarah meski pun kau tak punya keturunan yang akan meneruskan nama sekte dan gelar garis keturunan, tapi dengan buku semua itu terlampui. Tentunya tulisan dan pernyataan ini mempunyai rujukan yang jelas, karena kita hampir semua tahu bahwa "Tan Malaka" dan Penyair terkenal kita "Kahlil Gibran", tidak pernah menikah dan tidak punya keturunan, namun melalui karya tulisan dan pikiran-pikiran indahnya. Maka nama mereka tetap abadi sampai sekarang bahkan di gunakan dan di sebut di setiap ada pertemuan dan diskusi forum ilmiah.

Jika kita hanya mengandalkan teori dan kata-kata saja tanpa mengabadikan pikiran tersebut dalam sebuah wadah yang bernama kertas atau dalam milenial ini kita sebut dengan kertas putih bening yang bernama layar LCD Hand Phone (HP), maka pikiran itu hanyalah pikiran tanpa arah dan tujuan yang akan terurai dan ter-erupsi oleh waktu laksana banjir bandang yang membawa sampah-sampah ke laut ketika banjir bandang datang pada satu wilayah atau daerah.

Budaya menulis di Indonesia masih sangat rendah, dukungan pemerintah kepada penulis juga sangat kurang bahkan bisa dibilang tidak ada. Padahal, menulis itu sebuah pekerjaan yang sangat penting dan sangat di butuhkan agar ada keseimbangan informasi yang di dapatkan di dalam bernegara dan berbangsa. Kita bisa melihat Sejarah dan bisa ditelusuri dan dipahami juga karena adanya bukti tertulis dalam prasasti-prasasti yang ditemukan. Juga coba kita lirik kembali bagaimana sejarahnya Tan Malaka, Kahlil Gibran dan banyak lagi yang lainnya. Kedua tokoh tersebut di atas sengaja di ambil sebagai sampel dan di sebut berulang kali dalam tulisan ini karena mereka adalah orang yang abadi namanya dalam menulis meskipun tidak pernah menikah ataupun punya keturunan untuk menceritakan kehidupannya, namun melalui pikiran dan tulisannya, para lingkup intelektual masih saja gencar membahas dan menceritakan sejarah mereka. Ini adalah bukti bahwa menulis adalah bagian dari cara kita mengabdi dan mengabadikan diri terhadap generasi dan sejarah.

Budaya literasi di Indonesia sekali lagi belum memenuhi standar baik itu mutu, baik itu dukungan, baik itu kualitas, baik itu kwantitas dan sebagainya. Terlebih lagi minimnya pendidikan dasar yang di terapkan,dan juga jurangnya komunitas atau sanggar sebagai wadah yang akan mengapreseasi pikiran dan karya para penukis pemula, sehingga sadar atau atau tidak sadar hal itu telah membunuh kemauan dan semangat penulus pemula, sebab minimnya perhatian pemerintah yang mendongkrak juga menyambut kreatifitas dan kemampuan generasi dalam budaya literasi.

Negara lain, tidak udah disebuah sebagai negara maju, karena semua negara sama saja, tidak ada itu negara maju atau negara berkembang, semua negara punya cita-cita sama dan berlomba menjadi negara yang baik di mata rakyatnya dan di mata dunia. Kembali lagi kepada literasi, pemerintahan di negara lain banyak yang sudah memiliki lembaga yang khusus menangani masalah buku, penulis atau sebut saja sebagai literasi. Negara tetangga kita saja, memiliki dewan buku, kerjaan mereka jelas, membantu penulis-penulis untuk menciptakan buku-buku yang bagus. Buku bagus itu yang bagaimana? Buku bagus itu yang ditulis dengan hati senang, ditulis dengan tenang, artinya penulis mendapatkan dana riset, dana penelitian, uang kopi, uang listrik, uang makan dan tetek bengeknya, emang nulis nggak perlu biaya?

Standar hidup penulis di Indonesia tidak tinggi-tinggi amat kok, penulis Indonesia ini hampir semuanya sederhana, standarnya juga simple, ketika penulis keluar rumah anak dan istri di rumah tersenyum, itu saja standarnya. Walapun profesi penulis belum bisa dijadikan sandaran hidup, tetapi banyak penulis yang berani mengambil keputusan dan sikap, sebagai penulis full time, tidak menjadikan penulis sebagai sampingan. Resikonya? Resikonya tidak ada asalkan bisa mengatur management, kapan penulis dapat uang, kapan penulis mengelola uang dan kapan penulis harus memikirkan untuk mendapatkan uang lagi dan lagi dari tulisannya.

Jangan mengandalkan satu titik, fokus boleh hanya pada buku, tetapi cobalah merambah dunia literasi lainnya. Oh ya, apaan sih literasi itu? Ational Institute for Literacy, mendefinisikan Literasisebagai "kemampuan individu untuk membaca, menulis, berbicara, menghitung dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian yang diperlukan dalam pekerjaan, keluarga dan masyarakat." Definisi ini memaknai Literasi dari perspektif yang lebih kontekstual. Dari definisi ini terkandung makna bahwa definisi Literasi tergantung pada keterampilan yang dibutuhkan dalam lingkungan tertentu.

UNESCO menjelaskan bahwa kemampuan literasi merupakan hak setiap orang dan merupakan dasar untuk belajar sepanjang hayat. Kemampuan literasi dapat memberdayakan dan meningkatkan kualitas individu, keluarga, masyarakat. Karena sifatnya yang "multiple Effect" atau dapat memberikan efek untuk ranah yang sangat luas, kemampuan literasi membantu memberantas kemiskinan, mengurangi angka kematian anak, pertumbuhan penduduk, dan menjamin pembangunan berkelanjutan, dan terwujudnya perdamaian. Buta huruf, bagaimanapun, adalah hambatan untuk kualitas hidup yang lebih baik terutama kesadaran masyarakat indonesia yang berdemokrasi. Sebagaimana yang di ucapkan oleh pengamat politik Indonesia dalam acara ILC " Infrastruktur tidak membangun Demokrasi, karena Demokrasi itu adalah jalan pikiran bukan jalan tol" maksud yang di tanamkan disana ialah budaya literasi atau kebiasan membaca dan menulis serta intelektual yang rendah maka akan menyebabkan masyarakat demokrasi yang apatis dan tidak mau tau tentang stabilitas Negara dan akan ada kecenderungan terhadap praktik money politic.

Untuk kesekian kalinya, mari kita menulis dan menulis agar indonesia maju dan oubya warna baru dalam sejarah, agar terlahir generasi milenial yang mampu bersaing di kancah sastra bahkan keilmuan di tingkat dunia

Ginanjar Gie
Taman Ama Hami
Kota