KEARIFAN LOKAL YANG MULAI PUDAR DALAM BUDAYA BIMA

Lambang Daerah Mbojo
Mendalami tentang kultural budaya Bima di era milenial yang di pengaruhi oleh majunya peradaban globalisasi tentunya banyak hal dari Tradisi Budaya Bima yang kini mulai pudar dan sudah tidak lagi di jaga nilai keasrian, kemurnian dan nilai kearifan lokalnya. Penulis melakukan studi banding dengan menonton berbagai kesenian yang di tampilkan oleh beberapa sanggar yang ada di Kabupaten dan Kota Bima di berbagai acara kampus yang berada di Kota dan di Kabupaten Bima maupun karya-karya yang di suguhkan di dalam media youtube. Bahwa ada sesuatu yang di hilangkan dari nilai keasrian budaya tersebut dari hasil pantauan dan yang penulis analisis dari pengamatan film-film yang di buat tersebut adalah kecendrungan mengikuti arus global tanpa memperhatikan sesuatu yang merupakan buah Kultur asli, malah yang di hidupkan dan yang tercermin adalah sebuah  peradaban baru yang menghilangkan nilai etika dan estika yang selalu di hidupkan oleh para pendahulu dan para ulama yang telah menanamkan nilai garuda berkepala dua sebagai lambang dearah kita yang berlandaskan islam. Tentunya jika kita berbicara islam maka itu akan bermuara bagaimana tata krama dan tingkah laku yang di atur dan di jaga sedemikian rinci oleh aturan Al-qur'an dan hadist. Dalam hal perfilman ini tentunya adalah sesuatu yang perlu di apresiasi dengan baik, mengingat bahwa perkembangan teknologi tentulah tidak akan membunuh nilai peradaban dan budaya dan begitupun sebaliknya bahwa kultural budaya tidaklah bermaksud membuat kita berpikir primitif dan tidk menerima teknologi yang di subuhkan oleh peradaban modern.

Tapi itulah yang menjadi PR kita bersama, bahwa hasil gagasan dan ide yang di gagas oleh kumpulan atau komunitas tersebut adalah mulai menyampur baurkan perkembangan jaman dalam hal ini tentulah harus di sesuaikan oleh jaman sekarang. Tentunya ini bukanlah masalah karena di era milenial kita di tuntut untuk mencocokan nilai tradisi dengan peradaban yang kita hadapi sekarang ini. Namun ketika kita melihat dari sisi menghidupkan kembali nilai kearifan lokal dan tradisi budaya yang harus di hidupkan, tentunya sangat kontradiktif dengan nilai-nilai budaya yang telah di wariskan oleh leluhur dan nenek moyang kita. Nilai budaya yang seharusnya di jaga dan di rawat oleh masyarakat dalam hal ini adalah tanggungjawab besar bagi pemerintah daerah yang seharusnya memberikan seminar dan melakukan sosialiasasi kepada masyarakat, guna untuk tetap merat dan mencintai nilai warisan budaya, namun hanya satu dari ratusan nilai kearifan lokal yang di hidupkan dan juga hanya sebagian orang yang bisa mengadakan acara dan mengetahui nilai esensial budaya tersebut.

Dalam hal ini dari kacamata saya hanya melihat bahwa hanya satu budaya yang di hidupkan oleh    pemeritah yakni budaya rimpu, dalam hal ini tentunya kita ketahui bersama bahwa kemarin pada awal tahun 2018 di adakannya pertemuan besar dan reunian bersama yang di adakan oleh masyarakat Bima di jakarta tepatnya acara itu di selenggarakan di Monas, tentulah ini adalah sesuatu yang harus kita dukung bersama baha budaya bima bisa terekspos samai ke seluruh penjuru Nusantara, namun mari kita tengok lebih dalam lagi tentang bagaiman bima ini yang sesungguhya. Budaya-budaya yang bernilai sakral kini hanya menjadi cerita lama yangtak pernah di hiraukan kembali oeh khalayak ramai karena bupati kita saja tidak pernah mau memberikan perbupnya terkait pelestarian budaya tersebut. Contohnya, budaya gantao dan kapanca hanya di adakan oleh orang-orang elit saat melakukan pernikahan, kren banyak dari masyaratkat bia yang tidak mampu membayar guna melakukan acara ataupun ritual tersebut. Dan inilah yang menjadi ujuan saya kenapa budaya ini semakin tidak di hiraukan dan tidak di pedulikan terhadap pelestarian keberadaannya.

Selain itu ada nilai kearifan lokal yang mulai di lupakan oleh hampir semua masyarakat Bima bahwa nilai “Wanga Maju (Tanduk Rusa).”, yang sengaja di hidupkan oleh para leluhur sebagai warisan budaya, dan Budaya ini di hidupkan dalam bentuk setiap rumah haruslah di buatkan kayu/balok yang berbentuk seperti tanduk kijang yang baru tumbuh supaya kehidupan penghuni rumah tersebut kuat dan kokoh seperti kuatnya dan kokohnya tanduk tersebut. Namun bisa kita lihat sekarang bahwa gedung-gedung sengaja di bangun dalam bentuk modern, dan kayu yang sebagai nawacita dan falsafah warisan budaya tersebut kini mulai pudar dan nilai filosofisnya kini hanya sebagian orang yang mengetahuinya. Disini  ataupun tidak sengaja, tapi membunuh pelestarin nilai kearifan lokal budaya bima yang selama ini di jaga dengan baik oleh para leluhur kita.
Belum lagi tentang nilai falsafa bima “MAJA LABO DAHU” kini secara struktural di ganti oleh pemimpin daerah kita dengan gaya bahasa yang kita tidak mengerti nilai simbolisnya seperti apa. Bagaimana tidak nilai yang diturun temurunkan oleh leluhur kita di era ini di ganti dengan “BIMA RAMAH” agar elektabilitasnya tinggi, justru menghilngkan kalimat sakral yang di tulis oleh sejarah sebagai cerminan dan ciri khas orang bima. Di tambah lagi kantor Bupati dan Walikota sekarang dapat kita lihat sebagai masjid. Budaya bimanya entah kemana di bawa oleh pemerintahan sekarang.

Dalam hal ini tentulah peran kita sebagai generasi yang berperan aktif dalam bagaimana membangun dan menghidupkan kembali budaya kita yang mulai hilang dan mulai di lindes oleh kemajuan peradaban globalisasi yang secara masif membunuh nilai kearaifan lokal budaya daerah bima yang kita cintai bersama ini. Melalui studi yang coba saya rangkul ini sebagai bahan supaya kita sebagai generasi penerus budaya bima tentulah sangat di harapkan peran aktifnya. Karena yang kita ketahui bersama bahwa majunya sebuah negara dan daerah adalah tidak terlepas dari perjuangan generasi muda, dan terciptanya sebuah peradaban budaya yang di warisi oleh leluhur kita adalah bentuk kecintaan kita kepada sejarah. Karena bapakproklamator kita yang kita kenal dengan “Jas Merah”pernah berkata “Jangan lupakan sejarah”, dan juga mari kita cermati apa yang menjadi pernyataan Winston Churchill (1874-1965), perdana menteri inggris yang memimpin sekutu di era perang dunia II pernah berkata  “Makin lama anda melihat kebelakang maka makin jauh anda melihat kedepan."

Dari paparan di atas saya menyimpulkan bahwa setiap daerah yang menjaga nilai keasrian budaya daerah dan yang selalu mengingat sejarahnya adalah daerah yang mampu dan mumpuni membaca dan melihat situasi perkembangan jaman untuk kemajuan daerah tersebut di masa yang akan datang, maka dari itu, kembali kita mengingat lagi kalimat sakral ini “Jangan Lupakan Sejarah”. Dan hidupkan kembali Kearifan Lokal Yang Mulai Pudar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

terima kasih telah mengunjungi dan mensuport halaman kami kk