![]() |
Ilustrasi puisi (penulis tengah bermain dengan aksara) |
Hasrat terindah adalah memangku nostalgia bersama lazuardi.
Mendekap sukma dalam hikayat tarekat
Hingga terlahir bahasa-bahasa sabda
Menggiring otak tertuju pada satu makna.
Hidupku adalah budak kata
Aku membiarkan tubuh hidup dalam mazaji
Sebab ku tau
Kata-kata suaraku tak bermakna
Maka ku layatkan saja sehelai kertas di atas pembaringan sang babu bolot
Aku merayu
Kembali merayu dengan suara
Namun tak jauh pita ku berserakan
Suaraku hancur di himpit guntur
Sebab tirani bukanlah pendengar yang baik
Aku berorasi di tumpukan kertas
Berusaha membuang konak
Dalam kusut yang mungkin tak lagi ginding
Dalam noda-noda tinta berserakan
Aku si penyair jalanan
Berorasi di atas mimbar kertas
Merangkai kalimat hina untuk para budak birokrasi
Hingga ter_suakan suara hati ini
Dalam bubuk-bubuk merdeka yang ingin ku capai
Aku si penyair jalanan
Suaraku tak mampu berteriak di depan istana
Sebab telah serak sebelum berorasi
Sebab itu kulayatkan saja sebait puisi
Agar terobati rindu ini
Rindu menumbangkan kedzaliman di atas muka bumi
Aku si penyair jalanan
Tentunya kau tau bukan?
Yang menulis tentang ribuan kata-kata kritis
Bahkan segala sampah tengah ku ujar di ujung pena
Membasuh lukaku luka dia luka mereka
Yang tengah engkau dzolimi berabad-abad
Aku mohon
Bukalah mata
Akulah si penyair jalanan itu
Merangkai kata di pinggir trotoar
Agar kau lihat dan dengar
Disini aku di khianati oleh instrument yang di cipatakan oleh negara
Gie