PENYAIR JALANAN

Ilustrasi puisi (penulis tengah bermain dengan aksara)


Hasrat terindah adalah memangku nostalgia bersama lazuardi.
Mendekap sukma dalam hikayat tarekat
Hingga terlahir bahasa-bahasa sabda
Menggiring otak tertuju pada satu makna.

Hidupku adalah budak kata
Aku membiarkan tubuh hidup dalam mazaji
Sebab ku tau
Kata-kata suaraku tak bermakna
Maka ku layatkan saja sehelai kertas di atas pembaringan sang babu bolot

Aku merayu
Kembali merayu dengan suara
Namun tak jauh pita ku berserakan
Suaraku hancur di himpit guntur
Sebab tirani bukanlah pendengar yang baik

Aku berorasi di tumpukan kertas
Berusaha membuang konak
Dalam kusut yang mungkin tak lagi ginding
Dalam noda-noda tinta berserakan

Aku si penyair jalanan
Berorasi di atas mimbar kertas
Merangkai kalimat hina untuk para budak birokrasi
Hingga ter_suakan suara hati ini
Dalam bubuk-bubuk merdeka yang ingin ku capai

Aku si penyair jalanan
Suaraku tak mampu berteriak di depan istana
Sebab telah serak sebelum berorasi
Sebab itu kulayatkan saja sebait puisi
Agar terobati rindu ini
Rindu menumbangkan kedzaliman di atas muka bumi

Aku si penyair jalanan
Tentunya kau tau bukan?
Yang menulis tentang ribuan kata-kata kritis
Bahkan segala sampah tengah ku ujar di ujung pena
Membasuh lukaku luka dia luka mereka
Yang tengah engkau dzolimi berabad-abad

Aku mohon
Bukalah mata
Akulah si penyair jalanan itu
Merangkai kata di pinggir trotoar
Agar kau lihat dan dengar
Disini aku di khianati oleh instrument yang di cipatakan oleh negara

Gie

GUGUPKU

photo penulis (Lokasi Uma Lengge ASI Mbojo)

GUGUPKU

Aku bersama matahari di atas awan
Meneriakiku dalam basuhan kata
Membalutku dengan hasutan luka
Sebab senyummu adalah gulana

Matahari di ujung kepala
Sayu matamu di ujung mata
Menyelami dasar hatiku akankah mungkin??
Sebab uraian senyum pertanda cahaya

Panasmu kian menyengat bersama matahari mendidihkan keringat
Berdegup jantung ber_ulam hati
Saat sorot dan langkahmu tertuju di pijakan kakiku

Aku langkah yang tergulai
Terpenjara di sudut mulut yang gagap
Sebab hasutan suaramu merinding bagiku
Sebab suara mu lautan luas umpamaku

Berceritaku pada tawa
Ia hanya menghasilkan senyum malu
Sebab harap adalah tiada
Sedang sesak adalah niscaya

Kaukah rindu yang tertawan yang ditawar?
Kaukah rasa yang di urai yang terurai?
Kaukah semua rasa yang berkecamuk namun terkecam?

Seribu tanya di ujung harap
Jika kau adalah segalanya dari syurga yang ku cari
Maka hadirlah bersama keluargamu di akhir khotbah khatib minggu yang akan datang

Zeng Mita

CAPEK

Penulis. (kantin depan kampus)

Terapit oleh segunung penat
Di ujung waktu yang hendak ingin ku gapai
Ia tercabik sekulum senyum
Merekah rasa di suaka alam tempat berpijak
Hendak terkandas niat di ujung kaki
Capek melamun pun jua pikiran

Melamun sajak dalam urain bisu
Ia bangkit dalam segala bidang
Namun malas tetap jua menjadi
Menjelma setan dalam aliran darah
Hingga terkoyak semua semangat

Hmmmmmm
Lelah terkulai di atas pembaringan
Merebah lelap badan penuh luka
Sebab untai tak mampu terwakilkan oleh kertas
Hanya kehampaan dan rasa lelah yang tak jua mau hilang

Berharap ada setitik cahaya matamu
Mata ibu
Mata ayah
Yang bisa memberikan seribu tenaga
Memberikan seribu kekuatan
Untukku
Untuk rasa capek ku
Semoga terwujudkan

DESIS

Penulis (Lokasi:ASI MBOJO)

realistismu kini semakin sinis
menebas membabat bebas
apatismu menggorok sadis
kaum borjuis menjelma sebagai pengemis
menanam bibit-bibit komunis,
demokrasi sebagai topeng kapitalis
nasionalis terkikis menipis
menggoyahkan menara yakinku yg miris
suara orasi kini menjadi najis
Sebab amplop adalah tempat yang paling manis
Bagi para penjilat yang berlabel aktivis

PERCAKAPAN SORE

Ilustrasi (lokasi:dana traha)

Sebelum kau pulang aku mengajakmu ke sebuah bukit dana traha, dimana disitu kau bisa melihat semua penghunian kota tepian air.
Lalu kita beranjak dari kepengapan udara dana traha, sambil memintaku untuk mengambil gambar posemu dengan kamera hp mu.

Kau berbisik sesuatu, bahwa kau ingin pergi berpose di depan masjid terapung. Hingga aku mengangguk, mengiyakan permintaanmu sebelum kau pulang ke kampungmu.

Hilir mudik kendaraan menyapa kita yang mengendarai kendaraan roda dua menuju masjid terapung yang terletak di amahami.


Anak-anak yang berjalan mengitari teras masjid menyambut kedatangan kita, sang keamanan masjid sedang bertugas menjaga masjid laksana menjaga emas 24 K (dua pulu empat karat) seberat tugu Monas yang ada di ujung menara.

Adzan sang bila tak lupa menyambut, ashar telah tiba, mengalun indah di setiap telinga kaum Muhammad. Hingga bergetar jua jiwa saat mendengarkan dengan khusuh lantun adzan sang bilal.

Ashar telah usai, sang imam mengucap salam di turut oleh semua makmum, lalu kita bergegas keluar dari bilik masing-masing, berjumpa di tempat parkiran masjid. Aku memegang tanganmu, kau mengajak ku untuk berpose bersama, lalu tak sempat ku benarkan raut muka, kata-kata tanpa makna tercetus tanpa sadar dari mulutku.

Aku :
"maukah kau jadi pelita di hati
membibing jalanku yg penuh duri
kuharap engkau bisa menjadi sesuatu yang ku impi
karena kau bagiku adalah calon permaisuri
yg akan bertahta di sanubari".

Kau:
"Kata-katamu sungguh menyentuh hati
Hingga ku berdiam diri
Tidak bisa ku ungkapkan lagi
Mulut ini seakan membisu tanpa aku sadari".

Aku:
"seuntai kata yang mewakili
atas rasa yang ku pendam di dlm hati
ketika jentik dari naluri ingin berambisi
harus apalagi
harus bagaimana lagi
jika kebisuanmu hanya akan membekukan hati".

Kau:
"Bahagia hati kini ku rasa
Ku tak bisa berkata apa-apa
Kau mengungkapkan kata yang tidak bisa ku cerna
Sungguh aku tercengang dan tak pernah menyangka"

Aku:
"ketika pikiran kini ingin ber_asa
atas rasa yang kian membara didalam dada
yang inginkan engkau menjadi pelita
pemberi cahaya ketika jalanku tak tak rata
pemberi arah ketika jalanku tak tertata
tolonglah wahai belahan jiwa
aku ingin engkau menjadi wanita yg bisa ku papah".

Kau:
Yakinkah kau memilih diriku yang hanya manusia biasa?
Bukankah masih banyak wanita yang lebih sempurna di luar sana?
Jika benar adanya cobalah kau buktikan wahai pujangga?
Ku tunggu kau melamarku di depan mama-papa".

Aku:
"bila dirimu bersedia
bilang sama mama-papa
aku akan segera kesana
meminangmu wahai wanita yang kudamba".



Setelah bercakap dengan indah, kaupun pamit dengan segala mimpi. Bahwa semua akan berakhir dengan indah di tangga rumah sang wali.

Bersambung......