Keterpurukan wajah di Negeri Dongeng

Foto : ilustrasi puisi
Siapa yang di salahkan jika Negara begini?
Siapa yang bertanggung-jawab jika bangsa saling menuntut?
Siapa yang harus bergerak?
Siapa yang harus diam?
Siapa yang akan di tuntut?
Siapa yang akan menuntut?

Mahasiswa bersuara
Mereka teraniaya
Mereka di bungkam
Korban hegemoni sang hitam
Papua bersuara ingin merdeka
Sebagai korban RKUHP wujud pengalihan
Pasukan bersenjata di tarik kembali membunuh mahasiswa
Sipil bersenjata biarlah membunuh kawan-kawan pribumi
Suku-suku kembali membuat kubu
Kotak-kotak pahaman radikal menggugat mereka
Siapa bersuara di bunuh dengan kejam
Kasihan para pengaman Negara
Korban busur dari bualan PBB
Hak Asasi yang akan menjadi syarat berpisah dari NKRI
mari membaca aksara yang tak tertulis
Di balik mimpi membangun Negeri
Kepentingan mesiu dan bubuk hitam faktor utama
USA dan Jerman saling tebar kepentingan
Jakarta jadi persembahan darah
Darah mahasiswa yang terpropagandis oleh kepentingan penggerogot perut ibu pertiwi
Hahaha
Mari membaca
Tetap pada huruf-huruf yang tak pernah tertulis
Kita tunggu tanggal Dua Puluh
Bangkai manusia akan berguguran di jalanan
Masing-masing membela kepentingan
Siapa cepat dia dapat
Penggilingan
Penggulingan
Kita akan lihat wajah siapa yang akan terpuruk
Tunggu saj sejarah buram akan kembali tercatat
Syarat kepentingan masih tetap yang paling utama
Masyarakat sadar nilai akan kembali di wacanakan
Syarat terbentuk Negara berkemajuan
Negeri dongeng tetap bermain dan bernaung dalam setiap pikiran
Sudahlah
Titip saja semua cinta pada harapan
Kita bangun kembali semua yang telah rusak
Revolusi demi revolusi akan kembali di gaungkan
Yang jadi orator akan menjadi elit politik
Syarat inilah setiap dinamika terjadi
Mari lantunkan kalimat bual di atas mimbar
Demi rakyat kita turun ke jalan
Demi nama kita korbankan darah kawan
Ironi negeriku
25 September 2019
Ginanjar Gie
Kopi_kenangan
Ratapan malam yang menyayat kalbu
Tangis seakan jadi teman sejati dalam kesunyian yang sendu
Diam dalam gelap harapku
Seakan menjadi kesepian abadi dalam jiwaku
Kehampaan jadi lukisan duka di hatiku
Bila kumerindukan dirimu....

Negeriku Katanya

Puisi untuk negeriku
Negeri yang katanya Permusyawaratan perwakilan
Negeri yang katanya bersistem Demokrasi
Negeri yang penguasa dan elit politik yang katanya membawa perubahan

Katanya adil dan makmur bagi seluruh rakyat indonesia
Katanya Kemerdekaan mengantarkan rakyat kedepan pintu gerbang kemakmuran
Yaaaaa
Negeriku Katanya..!!!!

Dalam tanda tanya kita mau kemana
Revormasi menuju demokrasi
Demo yang tak berujung ada di pinggir jalan
Parlement jalanan menuntut keadilan
Jawaban dari ketidak adanya jawaban
Dari negeri ku yang katanya
Pemberi janji tiap periodesasi
Elit-elit bangsat yang senang membual

Lembaga-lembaga penuntut umum di bangun
Bangunan elit habiskan uang nagara
Dalil demi dalil pencitraan penunjang nama
Akhir kata lepentingan pribadi dan kelompok yang menjadi prioritas

Pembangunan intelektual lagi-lagi hanya wacana
Akal sehat di bungkam dan di penjara di bawah kubangan
Intelektual di buang di pinggir selokan
pendidikan jadi praktik kapitalisasi kaum borjuasi

Demokrasi adalah dalil periodesasi
Luka lama kembali terulang setiap Pergantian periode
Siapa yang berjanji siapa yang melaksanakan
Tak ada jalan untuk kembali percaya akan syarat kepemimpinan

Negeriku demokrasi
Untuk kekuasaan segala cara untuk di halalkan
Termasuk jual kepala
Pun bayar perkepala

Lembaga-lembaga umum kini mulai Bungkam
Tanpa alasana suara berikhtiar
Kerja nyata membangun sumber daya hanyalah wacana
Demokrasiku yang hampa

Luka Bertubi-tubi

Foto : Penulis
Lelahlah hari
Kau memberi lagi satu sayatan kasih
Menikam berkali-kali hingga luka mengulam pedih
Saat langit senja menari dalam tuaian kemilau jingga

Kenikmatan kasih yang telah hilang dalam ikrar sahabat tengah ku urai dalam puisi
Segala intuisi beserta kenangan telah menyatu dalam makna kata-kata
Berharap sunggik dari kasih sayangmu datang memapahku
Namun kau tak jua mau mengerti

Kau buta dalam penglihatanmu
Ambisi ingin di mengerti tetatp terdalih dalam gerak bibirmu
Sementara jauh disini
Pikiranku Nun jauh di ujung semesta
Bersama sahabatku yang kini terbang ke nirwana

Kenikmatan dalam membelai telah ku pelajari
Memeluk sunyi dari tungku yang di bakar sendiri
Hingga tak sempat ku berjabat dengan rindu
Kepergian dan kehilangan kembali menyambuk hati

Lalu
Kenikmatan mana lagi yang harus ku telusuri
Sementara segala lara telah ku telanjangi
Hati nelangsa dalam buaian mimpi
Jua sakit akan kata pisah dari hati yang di harap untuk menemani saat pedih

foto : Penulis
Kemana lagi kaki akan memapah
Kemana langkah akan terarah
Penjuru kota telah habis
Bekas tapakkan bisa kau lihat di pinggir trotoar

Langkah
Langkahilah
Sudahi perjalanan ini
Tiada ada tujuan dalam pencapaian
Selalu kata hampa yang datang menghampiri

Luang
Luangkanlah waktu
Lihatlah aku disini
Bersama luka yang makin melebam
Bersama mimpi yang tengah tak pasti
Menunggu sempat untuk hadirkan takdir dalam pangkuan
Agar kebahagian tiba di masa yang akan datang
Meski tidak dengan wajahmu
Tapi dengan jiwamu yang telah memenjara kehiduapanku
Doaku

Nostalgia Lara

Foto : ilustrasi puisi
Lantunan adzan berkumandang mengiringi kepergian
Mengantarmu pada liang lahat
Pada pembaringan abadi setiap jiwa
Yang terikrar di tiap falsafah kehidupan

Teriring air mata di atas nisan
menjumpai pedih yang terketuk dalam batin
Semburat senyum persahabatan kian menertawa
Kenang-kenangan membawa pada cakrawala yang hilang

Tuhan...
Bukanku menyalahkan takdir
Bukan pula ku kutuk sabdamu
Bukan juga ku gugat kasih sayang dan rahmatmu

Namun...
Tuhan....
Inikah sakit yang tertawar dari setiap skenario takdirmu
Inikah bukti dari cinta yang kau cipta untuk penyatuan
Inikah balasan atas setiap kasih kita pada manusia
Inikah yang di rasa untuk setiap untaian tali rahim yang terikat pada kata persahabatan


Mengapa?
Mengapa harus ada pertemuan
Jika pertemuanberujung perpisahan
Memberikan luka
Menanam benih-benih kepedihan
Mematikan hasrat dan nafsu pada setiap yang menumbuhkan saraf

Tuhan....
Tak terwakilkan kata sakitnya
Telah kehabisan kalimat untuk mengurainya
segala dilema atas kepergian sahabat yang baru saja kemarrin menemaniku minum kopin sambil mengsap rokok di tengah kebekuan malam
Bercerita tentang pahit manisnya perjuangan dan tentang kenikmatan dalam berorasi untuk sesama

Kenangan itu
Segala kalimat motivasi
Semua retorika yang menginspirasi
Teukir dan tercatat dalam pikiran

Ahhhh
Kembali
Sebutir embun yang tak di undang hadir di sudut pelipis
Menemui bayang wajah sahabat yang kini telah tiada
Meracuni rasa yang ingin kembali  bercengkrama
Atas ide-ide jail yang pernah teucap dalam canda setiap kita bersama

Rasanya...
Kenapa harus ada rasa yang demikian
Kenapa Demikian sesakit ini merelakan kepergian
Bukankah kemarin kau memerintahkanku untuk belajar?
Kemarin kau mengocehi segala perbuatan yang melanggar untuk di perbaiki

Namun
Hari ini kau diam membisu seribu bahasa
Bahkan teriak dan isak tangisku di telingamu tak kau hiraukan

Apakah kau tuli?
Sobat........
Bangunlah
Mari berdansa denganku dalam alunan lagu kebangsaan
Suara kita adalah suara yang akan menggetarkan istana

Ayo sahabat bangunlah
Jangan diam
Jangan mebisu seperti ini
Bangunlah.....

Ya..... Tuhan...
Gilakah aku
Hilangkah kewarasanku?
Kenapa tak kau bangunkan ia
Kenapa kau renggut kehidupannya

Tuhannnnnn

Seribu kali kata waras ada di kepalaku
Namun kenangan ini berjuta kali menyambuk derita
kepergianna adalah kehilangan keseimbangan kehidupa
Maka kembalikan ia dalam bentuk yang sempurna
dalam reinkaarnasi untuk penemani hidupku
Bukan wajahnya
Bukan jiwanya
Tapi anak yang sedang di kandung istrinya tolong selamatkan ia sebagai pemberi hidayah untuk menyembuhkan segala luka bagi orang-orang yang telah di tinggalkan.

Rabbana atina fiddunniya hasanah wa fill akhirratil khasanah wakina azzabarnar