Wahai Langit

foto : pena langit bersama adinda dika
Jalanku kini suram
Hitam yang dulu abu kini menyelinap di sudut mata.
Memberi bekas sesak dalam~dalam
Hingga langit kini tak bisa lg ku jumpai

Harus ku kemana lagi?
Jalanku kini suram
Tiada apa-apa disini
Kehampaan dan penyesalan akan masa lalu masih tetap terang membuntuti
Hingga langkah terkulai layu tanpa arah.

Kemana arah langkah kaki kini harus berpijak
Sementara langit masih jua gelap
Mega tak lagi menawan menemani
Cahaya apa lagi
Kini hilang bagai di hempas badai yang tak berkesudahan.

Hampa
Hanya asa masih memberi semangat untuk menghirup udara
Sementara yang lainnya kemana
Kehidupan kosong di tiap jengkal arah jarum jam berdetak menghampiri.

Wahai langit
Cukupkah ini jalan ini
Ataukah masih ada ribuan kubangan yang akan kau timpali
Untuk segala kisah-kesahku yang tak kau bimbing dengan indah.

Wahai semesta
Jika skenariomu adalah jalan memberatkanku
Maka akan aku terima ini sebagai pintalan cahaya yang akan menerangi
Sebab aku masih cukup punya energi untuk melewatinya dengan tabah.

Langitku
Ingatlah pinta dan asa ini
Bahwa segala soal yang kau tautkan dalam kisah hidupku adalah aksara-aksara yang akan aku rangkai untuk dunia
Bahwa dunia akan mengenang ini sebagai motivasi kehidupan peradaban yang akan datang.

Yakinku
Bersama doa dan harapan
Kuserahkan segalanya pada ayat-ayat yang tertulis di Arasy-Mu
Semoga
Ginanjar Gie
28 Desember 2019
Pena Langit di ujung Bima

SATU HARI NANTI

Foto : ilustrasi puisi
Sekali lagi kutulis satu dua bait semacam puisi untuk meraih kepalamu yang agaknya mulai menghilangkanku, tapi kata-kata selalu berhenti di tengah-tengah paragraf untuk menagih satu jantung yang pernah kujanjikan akan memberi nyawa barang beberapa denyut. Itu adalah jantungmu; denyutmu; perasaanmu; atau apa saja tentangmu yang pernah kau hadiahkan padaku.

Satu bait lagi lahir, merengekkan kehampaannya. Aku mencari ke seluruh penjuru kamar, barangkali ada senjata yang tertinggal—entah itu tetes tinta atau kusamnya buku puisi. Namun aku tidak menemukan apa-apa, hingga pada esoknya aku menatap matamu lalu menyadari; bahwa di kedalamannya, ia merampungkan rumpangnya puisiku.

Sorak sorai tergelar di lidahku. Aku merayakan kelahiran utuh puisiku dalam tubuhmu. Pada kau; tangan yang menggenggam, mata yang menyelam, lidah yang menyulang, juga pada kaki yang menyilang, kutemukan semua yang diagung-agungkan para penyair.

Aku bermimpi akan kebahagiaan dan lagi-lagi kutemukan pada senyummu.
Aku menginginkan kesepian dan kelukaan, dan ya, segalanya ada padamu.

Setelah semua ini, aku berjanji untuk berjuang melewati semua yang berat. Semoga jarak berkenan untuk segera dilipat, sebab rindu kita sudah tanak, sudah ranum, sudah siap untuk diruahkan.

Maka tunggulah sebentar lagi, hingga satu hari nanti aku tiba di pelukanmu; merengekkan hari-hari yang pelik saat tanpamu.

Dan pada hari itu, akhirnya,
aku punya kau untuk menenangkanku.

Bualan Dua Periode

Foto : ilustrasi puisi
Lembaga-lembaga yang tercipta
Dari tangan besi pemotong sel-sel penjara
Yang orange di kampus menyuarakan kebenaran
Yang orange di penjara menyuarakan kemunafikkan
Sebab kembali lembaga penuntut umum kini di bungkam lewat jalur kertas

Kertas meretas sejumlah kasus
Kasak kusuk ramai berbincang cincang
Yang hilang karena berorasi biarkan menjadi misteri
Sebab gayus dan nazaruddin bebas dari jeruji ketika di kerangkeng
Tuhan-tuhan kembali menjadi saksi nepotisme antar para elit

Lalat-lalat bertebrangan di pinggir piring
Mengelilingi meminta sesuap nasi
Ucapku silahkan berlandas di atas putih yang tak berlauk
Sebab kita adalah korban yang hanya diantar hanya sampai didepan pintu gerbang kemakmuran

Visi-misi itu tidak bisa kita kerjakan secara langsung semuanya
Sebab jangka-jangka waktu telah di rancang
Kita tunggu waktu realisasi
Jika tidak maka tunggu  periode selanjutnya
Asal kalian mau memilih
Akan aku bayar nilai dengan moral
Sebab periode harus di lanjutkan agar selaras pembangunan infrastruktur
Dan
Itulah tanda demokrasi berjalan pincang
Gie
21 Sep 2019
^Kopi_kenangan

RUKUHP Jadi Bualan PHP

Foto : pena langit
Tak ada konsepsi semesta
Tak ada teori negara
Tak ada tatanan sosial
Pun tak ada gerakan yang pasif

Lampu-lampu penerang kini redup
Pikiran terpenjara oleh ulah penyelundup
Tak ada guna bertelungkup
Sebab peluru telah meletup

Pion-pion tergerak tanpa intruksi
Agen-agen basis menerawang
Intai-mengintai demi kepentingan
Laksanakan perintah titah kepentingan

Lembaga-lembaga umum berdiri sebagai pengalihan
Independen terbaca dalam kacamata di tunggangi
Orasi kini hanya jadi suara oral
Kita cari nama untuk sekalian menjadi viral

Sang wakil gugup dan gagap saat audiensi di atas mimbar
Perjanjian lama di buka atas nama revolusi
RUKUHP kini jadi bualan PHP
Di hutan sana penggundulan hutan tanpa HPH
Omong kosong
Kosong-kosong
Hasil Nol

Kopi Kenangan

Foto : ilustrasi puisi
Kopi kenangan telah mengoyak hati
Di arak waktu berulang kali
Saat cangkir kembali ter-isi
Dengan sang Hitam pemberi inspirasi

Embun kini tersapu mentari
Waktu berputar seiring orbit lintas rotasi berlari
Pikiran dan hati masih tertuju pada satu intuisi
Kenang-mengenang saat bibir berucap janji
Tuk saling berpaut meski di landa badai

Namun kini telah hilang bersama mimpi
Denganmu yang memilih tak kembali
Hadir disini sebagai penghibur sepi
Disaat cinta tak lagi terkendali

Kau pergi bersama dia
Yang membuat diri di balut luka
Bersama mimpi-mimpi bahagia
Kukubur ingin dalam muram durja
Lukaku bersama Segalanya
Diarak waktu Cinta ini kubungkam selamanya
^Kopi_kenangan
Gie
23 Des 2019