VANESSA ANGEL

Foto : Vanessa Angel
Aku menahan amarah
Aku menahan syahwat
Aku menahan birahi
Aku menahan segala tipu

Aku menerka delapan puluh adalah pecahan rumusan kalkulus
Namun tak sempat ku baca
Vanessa ku malang dalam surga yang di impi
Sungguh kasian kau sayang
Aku ikut menelajangimu saat ini
Memburu semua lekukan tubuhmu
Memburu semua biografimu
Maafkan aku sayang

Angel cantik
Kau bermimpi apa tadi malam?
Adakah kau berpimpi aku menidurimu?
Ataukah kau bermimpi di tiduri penjara
Hingga naas harimu
Hingga delapan puluh gelarmu
Hingga viral nama dan gelarmu

Haram jaddah
Keluar dari mulut sampah
Vanessa angel kini bersumpah
Keakuan pada kesalahan asasi
Asasi jadi asi
Asi siapa?

Rongga nista hilang kesucian
Di bayar mahal para pembual
Hilangkah frasa pada kemakmuran
Tak mungkin ada jika bangsaku mampu

Kau tahu?
Pencuri yang menangis di tepi kubur
Istri pencuri yang menangis di dekat pembaringan suami yang baru saja di gorok masa
Ibu pencuri yang hampir gila di rumah tua karena hidup sendiri di tinggal anaknya yang di bakar hidup-hidup
Adalah sama kawan

Negaraku menawarkan kemakmuran
Kemakmuran yang hanya bualan sebelum tertidur
Bermimpi bertemu syurga
Di neraka
Entah di bumi atau di langit
Keduanya hanyalah dogma sialan
Kekhawatiran tuntutan
Tuntunan terpaksa terucap dari para pecinta filsafat langit
Sedang sebagian dari mereka sedang mencari tahta

Dimana keadilan?
Mungkin bisa kau temukan di syurga nanti
Mari berharap
Vanessa sayang bersabarlah

Untuk kekasihmu biarlah hilang
Milikku adalah kau
Kau akan ku hadiri di tepi mimpi ku
Sebagai bidadari yang ku kagumi
Aku pengagummu
Pengagum keadilan

KUTUKAN SUMBER DAYA NTB

Foto : ilustrasi puisi
Selaksa mengulum bratawali
Kepahitan datang mencerca hinggapi jiwa
Runyamkan hati pada titian rinjani
Membesuk papan hantamkan gejolak rengguti jiwa

Kau tau maksudku bukan?

Ibu pertiwi, maafkan aku
Kali ini aku mengusikmu lagi
Aku tak tau harus mencurahkan pada siapa lagi

Sebab presiden sudah tak bisa lagi melihat dan mendengar jeritan kami
Kami anak negeri dari timur yang kini di timpa bencana.

Ibu Pertiwi inikah kutukan punggungmu
Kutukan Sumber Daya yang kau lahirkan
Hingga negara lebih mementingkan Asing dari pada Bumi Putera

Ibu pertiwi adakah hilang tawamu ketika NTB di guncang malapetaka?
Ataukah kau sibuk mencari elektabilitas buat anak-anakmu yang telah sukses??
Buat anak-anakmu yang mengerti tentang aturan?

Ibu pertiwi harus Kepada siapa lagi aku beradu?

Wahai bung karno
Nyenyakkah tidurmu?
Negara yang kau merdekakan sekarang dilanda bencana
Ia sekarang sedang di hujam nestapa
Namun negara mu enggan memberi wajahnya untuk itu
Itukah yang kau cita-citakan?

Dimana sila-silamu bapak pfoklamatorku?
Dimana keBhinekaan yang kau rilis?
Apakah itu hanya berguna bagi orang-orang barat??
Sementara kami yang kau merdekakakn di timur
Harus mengulum senyum dengan deraian air mata

Pak presiden
Kami telah membuatkan surat terbuka
Kami telah meminta kepada wakil kami yang ada di legislatif
Namun itu hanyalah alugoro
Kami dimatamu hanyalah candala yang dikara

Bangsaku!!!!!!

Semestamu telah lalai mengukir sejarah baru
Ia lupa membuat sebuah naskah untuk bisa dikenang oleh NTB, Bahwa ia pernah menjadi sesuata yang sangat bermakna dalam hidup

Hidup Kami
Hidup lombok
Hidup NTB

Sekali Lagi bapakku
Bapak Presiden
Tolong jadikan Bencana NTB sebagi bencana nasional

TANGISAN ANAK NEGERI DARI TIMUR INDONESIA

Ginanjar Gie

SAKAU CANDU KECUPANMU

Foto : Ilustrasi puisi
Senja menuju pagi
Hilang malam penduduk bumi
Pena langit mengurai mimpi
Terduduk diri di atas gua suci

Kau pergi meninggalkan pagi
Hati disini tersenyum ringkih
Menatap lunglai bayang-bayang yang membuat jiwa melayang
Yang entah kemana lagi ia bertahta sebelum kembali

Kau butuh hati baru
Untuk sekedar membuatku malu
Katamu sebelum berlalu
Sebab Aku berlaku satu khilaf pada khalbu
Untukmu yang sering ku ajak bercumbu

Ah
Masih dalam kenangan
Mengunjungi api di tepi bibirmu
Yang memberi kehangatan saat peluk mendekap dalam kedinginan

Dan aku masih disini bersama sakau candu kecupanmu
Sebab rasa dingin selalu membawa pada keterpurukan
Karena kehangatan kecupanmu selalu membuatku menggigil ketika mengingatnya

Maaf
Lewat kata yang tak terucap
Pada kertas yang tak pernah menyapa
Aku mengurai satu kata tanpa makna
Tak berharap kau kembali
Hanya ingin kau mengerti
Tak ada niat untuk mengkhiati
Aku peduli
Aku sendiri

MULTATULI MEI

Mei
Berhenti dan menyerahlah
Multatuli dalam kata pasrah
Aku bertahun sudah
Aku lelah

Dalam sunyi
Aku menulis nama dalam intuisi puisi
Lahirkan aksara-aksara  dalam jemari
Agar kau paham bagaimana frasa bulan Mei

Harus ada pengakuan
Di trotoar dan di jalanan
Sebelum terlahir sebuah penyesalan
Sebab ribuan hati mati dalam sesalan
Karena diam dalam ungkapan

Bersuaralah

RAUT TANPA WAJAH

Insan tanpa raut datang menghampiri
Menawarkan rindu pada jiwa sepi
Kehampaan hadir menghantui
Bersama hadir yang ber-pamitan untuk pergi

Raut itu bernama asmara
Hadir tawarkan rasa di ujung senja
Sebelum malam datang meng-iba
Setelah terima ia menghilang bersama purnama

Raut tanpa nama menerjang
Raut tanpa wajah terhalang
Raut tanpa suara terlarang
Raut tanpa bisikan melayang
Hilang dalam ilalang

Kota Bima di ujung pena
10 Januari 2019
Gie