 |
Foto : 2LBC (Tule Baca) Lintas Literasi Bima Comunity |
"Belajarlah menulis sampai kau lupa kapan waktunya harus berhenti menuangkan guratan aksaramu di atas kertas" Gie
Mengapa harus "Nulis?" karena setiap orang setidaknya harus menanam sebatang pohon, memiliki anak atau menulis sebuah buku agar abadi. Ketiga hal tersebut akan melampaui batas usia kita, memastikan bahwa kita tetap di kenang. Kata di atas diucapkan oleh seorang pejuang revolusioner sekaligus penyair, "Jose Marti." dan kata tersebut sudah di setujui dan itu mewakili kesepakatan banyak orang, bahwa buku diciptakan supaya kemanusiaan tidak lenyap begitu saja.
Memang dengan adanya buku, pikiran dan gagasan seseorang akan selalu di kenang. Manusia dari zaman ke zaman dapat terus menikmati kehadiran seseorang melalui ide yang tertulis di buku. Bahkan dalam sebuah peribahasa Latin di kenal dan sudah tidak asing lagi di telinga kita tentang bahasa ini, "Verba Volant, scripta manent" yang artinya : "Kata akan melayang pergi, sementara tulisan tinggal menetap".
Menulislah maka engkau akan abadi dan di kenang oleh sejarah meski pun kau tak punya keturunan yang akan meneruskan nama sekte dan gelar garis keturunan, tapi dengan buku semua itu terlampui. Tentunya tulisan dan pernyataan ini mempunyai rujukan yang jelas, karena kita hampir semua tahu bahwa "Tan Malaka" dan Penyair terkenal kita "Kahlil Gibran", tidak pernah menikah dan tidak punya keturunan, namun melalui karya tulisan dan pikiran-pikiran indahnya. Maka nama mereka tetap abadi sampai sekarang bahkan di gunakan dan di sebut di setiap ada pertemuan dan diskusi forum ilmiah.
Jika kita hanya mengandalkan teori dan kata-kata saja tanpa mengabadikan pikiran tersebut dalam sebuah wadah yang bernama kertas atau dalam milenial ini kita sebut dengan kertas putih bening yang bernama layar LCD Hand Phone (HP), maka pikiran itu hanyalah pikiran tanpa arah dan tujuan yang akan terurai dan ter-erupsi oleh waktu laksana banjir bandang yang membawa sampah-sampah ke laut ketika banjir bandang datang pada satu wilayah atau daerah.
Budaya menulis di Indonesia masih sangat rendah, dukungan pemerintah kepada penulis juga sangat kurang bahkan bisa dibilang tidak ada. Padahal, menulis itu sebuah pekerjaan yang sangat penting dan sangat di butuhkan agar ada keseimbangan informasi yang di dapatkan di dalam bernegara dan berbangsa. Kita bisa melihat Sejarah dan bisa ditelusuri dan dipahami juga karena adanya bukti tertulis dalam prasasti-prasasti yang ditemukan. Juga coba kita lirik kembali bagaimana sejarahnya Tan Malaka, Kahlil Gibran dan banyak lagi yang lainnya. Kedua tokoh tersebut di atas sengaja di ambil sebagai sampel dan di sebut berulang kali dalam tulisan ini karena mereka adalah orang yang abadi namanya dalam menulis meskipun tidak pernah menikah ataupun punya keturunan untuk menceritakan kehidupannya, namun melalui pikiran dan tulisannya, para lingkup intelektual masih saja gencar membahas dan menceritakan sejarah mereka. Ini adalah bukti bahwa menulis adalah bagian dari cara kita mengabdi dan mengabadikan diri terhadap generasi dan sejarah.
Budaya literasi di Indonesia sekali lagi belum memenuhi standar baik itu mutu, baik itu dukungan, baik itu kualitas, baik itu kwantitas dan sebagainya. Terlebih lagi minimnya pendidikan dasar yang di terapkan,dan juga jurangnya komunitas atau sanggar sebagai wadah yang akan mengapreseasi pikiran dan karya para penukis pemula, sehingga sadar atau atau tidak sadar hal itu telah membunuh kemauan dan semangat penulus pemula, sebab minimnya perhatian pemerintah yang mendongkrak juga menyambut kreatifitas dan kemampuan generasi dalam budaya literasi.
Negara lain, tidak udah disebuah sebagai negara maju, karena semua negara sama saja, tidak ada itu negara maju atau negara berkembang, semua negara punya cita-cita sama dan berlomba menjadi negara yang baik di mata rakyatnya dan di mata dunia. Kembali lagi kepada literasi, pemerintahan di negara lain banyak yang sudah memiliki lembaga yang khusus menangani masalah buku, penulis atau sebut saja sebagai literasi. Negara tetangga kita saja, memiliki dewan buku, kerjaan mereka jelas, membantu penulis-penulis untuk menciptakan buku-buku yang bagus. Buku bagus itu yang bagaimana? Buku bagus itu yang ditulis dengan hati senang, ditulis dengan tenang, artinya penulis mendapatkan dana riset, dana penelitian, uang kopi, uang listrik, uang makan dan tetek bengeknya, emang nulis nggak perlu biaya?
Standar hidup penulis di Indonesia tidak tinggi-tinggi amat kok, penulis Indonesia ini hampir semuanya sederhana, standarnya juga simple, ketika penulis keluar rumah anak dan istri di rumah tersenyum, itu saja standarnya. Walapun profesi penulis belum bisa dijadikan sandaran hidup, tetapi banyak penulis yang berani mengambil keputusan dan sikap, sebagai penulis full time, tidak menjadikan penulis sebagai sampingan. Resikonya? Resikonya tidak ada asalkan bisa mengatur management, kapan penulis dapat uang, kapan penulis mengelola uang dan kapan penulis harus memikirkan untuk mendapatkan uang lagi dan lagi dari tulisannya.
Jangan mengandalkan satu titik, fokus boleh hanya pada buku, tetapi cobalah merambah dunia literasi lainnya. Oh ya, apaan sih literasi itu? Ational Institute for Literacy, mendefinisikan Literasisebagai "kemampuan individu untuk membaca, menulis, berbicara, menghitung dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian yang diperlukan dalam pekerjaan, keluarga dan masyarakat." Definisi ini memaknai Literasi dari perspektif yang lebih kontekstual. Dari definisi ini terkandung makna bahwa definisi Literasi tergantung pada keterampilan yang dibutuhkan dalam lingkungan tertentu.
UNESCO menjelaskan bahwa kemampuan literasi merupakan hak setiap orang dan merupakan dasar untuk belajar sepanjang hayat. Kemampuan literasi dapat memberdayakan dan meningkatkan kualitas individu, keluarga, masyarakat. Karena sifatnya yang "multiple Effect" atau dapat memberikan efek untuk ranah yang sangat luas, kemampuan literasi membantu memberantas kemiskinan, mengurangi angka kematian anak, pertumbuhan penduduk, dan menjamin pembangunan berkelanjutan, dan terwujudnya perdamaian. Buta huruf, bagaimanapun, adalah hambatan untuk kualitas hidup yang lebih baik terutama kesadaran masyarakat indonesia yang berdemokrasi. Sebagaimana yang di ucapkan oleh pengamat politik Indonesia dalam acara ILC " Infrastruktur tidak membangun Demokrasi, karena Demokrasi itu adalah jalan pikiran bukan jalan tol" maksud yang di tanamkan disana ialah budaya literasi atau kebiasan membaca dan menulis serta intelektual yang rendah maka akan menyebabkan masyarakat demokrasi yang apatis dan tidak mau tau tentang stabilitas Negara dan akan ada kecenderungan terhadap praktik money politic.
Untuk kesekian kalinya, mari kita menulis dan menulis agar indonesia maju dan oubya warna baru dalam sejarah, agar terlahir generasi milenial yang mampu bersaing di kancah sastra bahkan keilmuan di tingkat dunia
Ginanjar Gie
Taman Ama Hami
Kota