Lorong Cahaya

Foto : Ilustrasi puisi
Lorong-lorong cahaya menembus mega
Jingga meraba sayu dalam perpisahan
Gelombang gunung terhampar samar
Merambat cahaya diatas merah merona sang senja
Waktu meronta ingin pergi
Berlari mendahului semuanya
Mengejar angin yang tengah mengusir peluh
Dingin..!!!!!!
Dilereng-lereng para pemuja
Menanti sesuatu tanpa tahu
Asa pada bualan ilusi
Kehampaan semaunya semuanya
Angin berembus mesra
Menelisik pepohonan yang tengah berdendang
Mengalunkan senandung perpisahan
Antara bahagia dan sedih satu dalam bingkisan skenario indah semesta
Aduhai
Kataku satu
Namun doa masih saja samar
Mbuja
#pule
Ginanjar Gie
24 Des 2019
Pena Langit Di ujung Timur Bima

SUARA YANG RINDU AKAN KEADILAN

Suara berakhir di penjara
Pelopori semua hasil semu
Gerakan masif hancur di mimbar jalanan
Kini tinggalkan meja hijau yang akan mengambil alih

Hantu-hantu berkeliaran dimana-mana
Tak terbang namun berjalan layaknya anak harimau
Liar tanpa cakar mengaum tanpa busana
Hendakkah kiri terisolir di muka bumi?

Asap gas air mata adalah senjata pamungkas
Meneteskan air mata meski dalam laga perang
Apa yang hendak kau tangisi?
Tanya sang ibu penjual somai di pinggir trotoar

Air mataku jahat Tuan ujar seorang gadis saat menyapa wajah muram petugas
Aku bukanlah dari air mataku
Air mataku air matamu yang kau tumpahkan lewat diriku
Karena aku yakin generasi dari anakmu akan mengalami nasib yang demikian yang kini tengah kami alami

Kembali besok kata teman di atas surau
Namun senjata tak mampu di hadang oleh kekuatan Toa di tepi atap
Sekali terbang asap gas mengepul
Air mata kembali berlinang di atas sana

Loakkan kata seorang pengendara di jalanan
Sampah ucap seorang petugas saat mengejar para pencari keadilan
Busuk ucap media dalam headline deadline
Tetaplah semangat dan hidup ucapku dalam hati
Karena suara yang rindu akan keadilan tetap abadi
Seabadi fajar merah saat pagi datang
Seabadi fajar merah ketika melantunkan senandung kebenaran tak pernah mati
gie
^Kopi_kenangan

Wahai Langit

foto : pena langit bersama adinda dika
Jalanku kini suram
Hitam yang dulu abu kini menyelinap di sudut mata.
Memberi bekas sesak dalam~dalam
Hingga langit kini tak bisa lg ku jumpai

Harus ku kemana lagi?
Jalanku kini suram
Tiada apa-apa disini
Kehampaan dan penyesalan akan masa lalu masih tetap terang membuntuti
Hingga langkah terkulai layu tanpa arah.

Kemana arah langkah kaki kini harus berpijak
Sementara langit masih jua gelap
Mega tak lagi menawan menemani
Cahaya apa lagi
Kini hilang bagai di hempas badai yang tak berkesudahan.

Hampa
Hanya asa masih memberi semangat untuk menghirup udara
Sementara yang lainnya kemana
Kehidupan kosong di tiap jengkal arah jarum jam berdetak menghampiri.

Wahai langit
Cukupkah ini jalan ini
Ataukah masih ada ribuan kubangan yang akan kau timpali
Untuk segala kisah-kesahku yang tak kau bimbing dengan indah.

Wahai semesta
Jika skenariomu adalah jalan memberatkanku
Maka akan aku terima ini sebagai pintalan cahaya yang akan menerangi
Sebab aku masih cukup punya energi untuk melewatinya dengan tabah.

Langitku
Ingatlah pinta dan asa ini
Bahwa segala soal yang kau tautkan dalam kisah hidupku adalah aksara-aksara yang akan aku rangkai untuk dunia
Bahwa dunia akan mengenang ini sebagai motivasi kehidupan peradaban yang akan datang.

Yakinku
Bersama doa dan harapan
Kuserahkan segalanya pada ayat-ayat yang tertulis di Arasy-Mu
Semoga
Ginanjar Gie
28 Desember 2019
Pena Langit di ujung Bima

SATU HARI NANTI

Foto : ilustrasi puisi
Sekali lagi kutulis satu dua bait semacam puisi untuk meraih kepalamu yang agaknya mulai menghilangkanku, tapi kata-kata selalu berhenti di tengah-tengah paragraf untuk menagih satu jantung yang pernah kujanjikan akan memberi nyawa barang beberapa denyut. Itu adalah jantungmu; denyutmu; perasaanmu; atau apa saja tentangmu yang pernah kau hadiahkan padaku.

Satu bait lagi lahir, merengekkan kehampaannya. Aku mencari ke seluruh penjuru kamar, barangkali ada senjata yang tertinggal—entah itu tetes tinta atau kusamnya buku puisi. Namun aku tidak menemukan apa-apa, hingga pada esoknya aku menatap matamu lalu menyadari; bahwa di kedalamannya, ia merampungkan rumpangnya puisiku.

Sorak sorai tergelar di lidahku. Aku merayakan kelahiran utuh puisiku dalam tubuhmu. Pada kau; tangan yang menggenggam, mata yang menyelam, lidah yang menyulang, juga pada kaki yang menyilang, kutemukan semua yang diagung-agungkan para penyair.

Aku bermimpi akan kebahagiaan dan lagi-lagi kutemukan pada senyummu.
Aku menginginkan kesepian dan kelukaan, dan ya, segalanya ada padamu.

Setelah semua ini, aku berjanji untuk berjuang melewati semua yang berat. Semoga jarak berkenan untuk segera dilipat, sebab rindu kita sudah tanak, sudah ranum, sudah siap untuk diruahkan.

Maka tunggulah sebentar lagi, hingga satu hari nanti aku tiba di pelukanmu; merengekkan hari-hari yang pelik saat tanpamu.

Dan pada hari itu, akhirnya,
aku punya kau untuk menenangkanku.

Bualan Dua Periode

Foto : ilustrasi puisi
Lembaga-lembaga yang tercipta
Dari tangan besi pemotong sel-sel penjara
Yang orange di kampus menyuarakan kebenaran
Yang orange di penjara menyuarakan kemunafikkan
Sebab kembali lembaga penuntut umum kini di bungkam lewat jalur kertas

Kertas meretas sejumlah kasus
Kasak kusuk ramai berbincang cincang
Yang hilang karena berorasi biarkan menjadi misteri
Sebab gayus dan nazaruddin bebas dari jeruji ketika di kerangkeng
Tuhan-tuhan kembali menjadi saksi nepotisme antar para elit

Lalat-lalat bertebrangan di pinggir piring
Mengelilingi meminta sesuap nasi
Ucapku silahkan berlandas di atas putih yang tak berlauk
Sebab kita adalah korban yang hanya diantar hanya sampai didepan pintu gerbang kemakmuran

Visi-misi itu tidak bisa kita kerjakan secara langsung semuanya
Sebab jangka-jangka waktu telah di rancang
Kita tunggu waktu realisasi
Jika tidak maka tunggu  periode selanjutnya
Asal kalian mau memilih
Akan aku bayar nilai dengan moral
Sebab periode harus di lanjutkan agar selaras pembangunan infrastruktur
Dan
Itulah tanda demokrasi berjalan pincang
Gie
21 Sep 2019
^Kopi_kenangan