 |
Ilustrasi kacamata pendidikan |
WAJAH KUSUT PENDIDIKAN ERA MILENIA
Sengaja atau tidak sengaja seluruh Element telah menghilangkan atau dengan sengaja membunuh nilai dari arti sekolah yang sesungguhnya. Arti kata sekolah yang sesungguhnya hanya sebagai pelepas penat dari kurungan orang tua di rumah, kini menjadi sesuatu candu yang harus di tuntut untuk menjadi faktor penunjang terjadinya praktik KKN (Kolusi Korupsi Nepotisme) secara legal. Tentunya ini akan mengundang pertanyaan kita, kok bisa terjadi Praktik KKN secara legal sih??
Dari mana letak KKN nya dan bahkan mungkin banyak pertanyaan kita yang tidak bisa penulis uraikan.
Baiklah penulis akan mencoba menjabarkannya dengan cara sesederhana mungkin, agar tidak menjadi sebuah dilema atas pertanyaan-pertanyaan tersebut. Sebut saja Kurikulum, dimana disitu adalah sesuatu yang akan menunjang proses KKN, bagaimana tidak disitu tidak terjadi praktik KKN sementara pemerintah dengan sengaja merubah kurikulum pelajaran atau lebih jelasnya buku pelajaran sekolah (Buku INPRES) yang mereka rubah bahkan di tiap tahunnya.
yang mereka sediakan agar buku-buku dan bahan ajarannya di rubah, dan agar supaya buku-buku yang mereka terbitkan laku di pasaran dengan doktrin bahwa seorang guru harus memiliki buku pegangan tersebut.
Yang paling lucu ialah bahan ajarannya cuman sedikit saja yang di rubah, dan ijazah tetap itu aja yang di dapatkan, sementara hasilnya tidak ada.!!!!!! Tidak ada produk-produk sekolah yang bisa langsung di pakai, atau bisa di gunakan secara maksimal, justru setelah selesai sekolah, maka kita di tuntut untuk mempunyai uang puluhan bahkan ratusan juta untuk bisa menjadi bagian dari birokrasi atau istansi-istansi dengan label yang biasa kita kenal dengan nama PNS (Pegawai Negeri Sipil). Sementara yang tidak punya uang atau tergolong ekonomi kebawah, mereka hanya menjadi jongos di setiap istansi, yang pemerintah sendiri memberi label SUKARELA (Suka Bekerja Rela Tidak Di Gaji).
Sekarang Produk-produkk sekolah atau perguruan tinggi persis seperti produk-produk pabrik, di perjual belikan dan di jadikan sebagai pasar bebas Berlabel atau tidak, berintelek atau tidak, yang penting punya kolega di dalamnya yang tidak bisa baca atau pejabat yang bukan ahlinya pun di masukan untuk menjadi pegawai.
Setelah itu mari kita berjalan-jalan lagi ke keputusan pemerintah tentang aturan yang di buat untuk anak didik sekaligus generasi kita, di poin ini saya akan mencoba menelaah bagaimana bobroknya sistem dan aturan yang di bangun oleh pemerintah dalam tubuh pendidikan.
Sekarang mari kita persoalan keputusan Menteri pendidikan terkait Ujian Nasional (UN), dimana mereka dengan enteng mengeluarkan kebijakan tentang ujian, tanpa mempertimbangkan masa depan seorang anak di dalam lingkungannya.
Merujuk kepada keputusan Mendiknas Nomor 153, ayat 3 (tiga). Tentang Ujian Nasional, point-pointnya adalah pembunuhan perseorang bagi siswa yang tidak memiliki potensial di dalam dirinya terkait mata pelajaran yang di ujikan di ring ujian nasional.
Disini sebenarnya adalah pembunuhan hak siswa untuk melanjutkan pendidikan ke level yang lebih tinggi. Keinginan generasi di batasi karena pelajaran yang tidak sukai atau karena dia tidak bisa dalam hal tersebut, merujuk pada kalimat pepatah lama yang mengatakan "semua manusia mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing". lalu bagaimana mungkin Mendiknas dapat menyimpulkan bahwa siswa harus bisa mengisi semua mata pelajaran dalam Ujian Nasional (UN)?.
Peraturan mendiknas tentang Ujian Nasional (UN), patutlah kita kritik, karena berdasar pada sejarah seorang pakar pemikir ulung yang telah menemukan hukum relativitas, dan kesetaraan energi dan masa dan hukum-hukum lainnya. Tokoh yang dijuluki sebagai seorang pakar majunya dunia iptek yang semasa kecil di juluki seorang yang bodoh tapi pintar. Bagaimana mungkin kita bisa menyamakkan atau membandingkankisah hidup Einstein dengan keputusan Mendiknas tentang Ujian Nasional (UN).
Baiklah, penulis akan mengajak pembaca untuk kembali ke abad 20 dimana Arbert Einstein lahir dan di besarkan. Penulis akan memberikan sedikit analogi dari Biografi tokoh Fisikawan ini untuk sebagai bahan acuan untuk pembaca berpikiran kritis dalam menanggapi Ujian Nasional (UN).
Mari kita baca sedikit sejarah kecilnya Einstein, dimana dia adalah seorang yang memiliki kalau di jaman sekarang di namakan Autis. Einstein juga memiliki kekurangan Waktu kecil, dimana teman-teman sebayanya sudah dengan lancar, namun Einstein tidak bisa berbicara seperti layaknya teman-temannya. setelah ulang tahunnya yang kelima Einstein dapat berbicara, mukjizat itu datang berawal dari hadiah ayahnya (Einstein Hermann) Memberikan hadiah ulang tahun yaitu sebuah kompas, yang membawa ia berpikir (kenapa jarum kompas selalu menunjuk arah Utara), dari situlah awal mula pikiran Einstein tumbuh berkembang dan sekaligus ia bisa berbicara.
Namun Kehidupan yang dilewatinya bukanlah sebuah kehidupan yang mudah. Tapi penulis tidak akan membahas jauh tentang kehidupan eistein dan persoalan-persoalan kehidupan Einstein. Penulis akan mengutip dari biografinya yang dimana ini adalah fenomena yang menakjubkan pada jaman itu, dimana seorang Einstein seorang pemikir kritis, ilmuwan, filsuf ini pernah tidak lulus SMP. Mencengangkan bukan? (baca :einstein mencari tuhan lewat filsafa, musik dll).
Hanya karena Einstein tidak suka kepada mata pelajaran hafalan seperti Biologi, Sejarah dan mata pelajaran lainnya. Ia tidak lulus lantaran ia benar-benar menggeluti mata pelajaran yang ia sukai yaitu Matematika dan Fisika.
Pembaca mungkin bertanya, kenapa bisa dia mendapat gelar Ir?
nah dari sinilah yang akan penulis petik untuk mengkritisi keputusan Mendiknas tentang Ujian Nasional (UN). Pembaca yang budiman tentunya penulis tidak akan bertele-tele untuk penjelasan ini. Bagaimana tidak seorang Einstein mendaftar di Sekolah Menengah Atas (SMA), hanya bermodalkan surat keteranga tanda tamat belajar di SMP, Einstein sama sekali tidak punya Ijazah SMP. bagaimana mungkin dia bisa punya Ijazah bahkan lulus ujian akhir saja belum.!!
Nah....
Merujuk pada penjelasan tentang potongan Biografinya Einstein, tentulah kita akan berpikir, bahwa seandainya saat itu tidak ada Surat Keterangan Tanda Tamat Belajar di sekolahnya, mungkin Einstein akan bernasib sama seperti anak-anak Jaman sekarang, (pencopet, pengamen, bahkan yang lebih jahat lagi ialah pembunuh), karena merasa masa depannya di batasi dan dibunuh secara tidak langsung oleh Pemerintah.
Einstein terkenal bukan dari Ujian Akhir Nasional (UAN) atau yang kita kenal sekarang ialah Ujian Nasinal Berbasis Komputer (UNBK). Namun einstein di kenal dengan bakan bawaan lahirnya yang tipe seorang pemikir bukan tipe seorang penghafa.
hemat penulis Ujian Nasional (UN) ialah cara pemerintah dengan secara tidak langsung membunuh karakter siswa dan generasi indonesia, bagaimana mungkin seorang anak pecinta seni di suruh menghafal soal IPA dan IPS sedangkan dia mempunyai kelebihan dalam bidang membuat Puisi dan bermain gitar, sementara dalam Ujian Nasional (UN), tidak ada mata pelajaran seni. Lalu sang siswa yang mempunyai jiwa seni ini harus di bunuh secara tidak langsung oleh pemerintah mengenai mimpinya dengan cara tidak di luluskan dalam Ujian Akhir atau yang kita kenal dengan Ujian Nasional (UN).
Keputusan ini sangat bertolak belakang dengan semboyan pemerintah yang mengatakan bahwa pemeratan pendidikan bagi setiap warga negara dan generasi bangsa, karena pendidikan bukan hanya tentang Matematika dan IPA atau IPS tapi pendidikan ialah bagaimana seseorang bisa meraih apa yang dia cita-citakan tanpa suatu persoalan dalam mengejarnya.
Lalu sempatkah kita berpikir tentang mata pelajaran apa saja yang di ujikan di kompetisi Ujian Nasional??
Ujian nasional tapi yang di ujikan ialah mata pelajarannya bahasa inggris, masuk akal atau tidak?? Sangat masuk akal sebab itu adalah bahasa internasional. Tapi bagaimana dengan pelajaran seni budaya atau pelajaran muatan lokal yang sekarang sudah di hilangkan oleh kurikulum?
Bukankah itu bertentantangan dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika Kita?
Bukankah budaya dan ras adalah yang tercantum di dalam nilai dasar ideologi kita tersebut?
Lalu bagaimana cara kita menghidupkan budaya kita sementara dalam kurikulum saja sudah di potong, di sembelih, dan matikan oleh tangan-tangan menteri.
Oh iya, itu sudah masuk dalam buku sejarah yah??
Apakah budaya dengan sejarah sama??
Tentu tidak, dan itu adalah kesalahan yang fatal bagi saya. Dan sekarang kita di hadapkan dengan kebijakan baru yaitu full day school
Untuk sekarang Sekolah telah menerapakan Full Day School, dimana di situ siswa harus menghabiskan waktunya satu hari di lingkungan sekolah. Sangat bagus sekali dan efisien bukan???
Tapi sekali lagi mari kita kembali pada nilai dan dasar terbentuknya nilai dan makna kata sekolah yang berasal dari kata yunani "skolae" yang bermakna waktu luang (baca : Sekolah itu candu). Justru ini adalah pembunuhan nilai dari nawacita kata sekolah, yang dimana sengaja di perbodoh oleh kurikulum.
Sehingga lahirlah generasi pintar tanpa jiwa kritis, sebab jiwanya sudah di rasuki oleh doktrin sekolah yang mengajarkan bagaimana bersikap baik dalam menerima keputusan dan kebijakan pemerintah.
Catatan: tulisan ini masih jauh dari kata sempurna, sebab data yang di gunakan masih banyak yang samar. Tapi saya meminta saran pendapat dan kritikan kawan-kawan untuk menambah semangat saya untuk memfokuskan saya terkait tulisan-tulisan saya selanjutnya.