BUNYI PENA

Foto : ilustrasi puisi
Bagaimana pena berbunyi?
Apakah semacama lagu goyang dua jari?
Ah tidak
Cara pena berbunyi ialah kata tanpa suara
Ia mengalir dari pikiran para intelek
Yang ingin merubah alam bawah sadar si pembaca

Pena adalah pasangan hidup bagi suami atau istri
Ia mewakili semua keistimewaan berpikir
Menuangkan segala suka duka
Tanpa ampun menguraikannya laksa banjir bandang melanda hunian warga

Pena adalah pedang
Yang mampu menikam tanpa bersentuhan
Ia bisa mematikan jiwa
Meski jarak berada di cakrawala
Ajiannya mampu memenjarakan setiap manusia
Meluluhlantakkan istana laksana pancasona legenda karmapala

Pena adalah sahabat terbaik
Yang selalu mendatangi setiap kau mau berkeluh kesah
Tanpa bising ia mendengar semua kisah
Hujatan kritikan rayuan bahkan penghambaan
Ia adalah tempat penampung semua kata-kata pun sampah

Sementara para sufismen bercerita
Bahwa di lauhil mahfudz berbunyi suara pena
Penulis takdir bagi setiap jiwa yang bernaung di dalam semesta
Menguraikan jodoh dan semuanya
Sebab itu pena sangat indah
Ia mampu menelanjangi tubuh bahkan dengan satu guratan

KITA ADALAH SATU DARI DUA YANG AKAN MENYATU

Foto : ilustrasi puisi

Setubuhi saja pikiran liarku
Aku sedang tak berbicara langit
Apalagi ilmu bumi
Aku sedang berbicara tentang kita
Tentang surga di antara kita
Yang ketika sendiri tak dapat kau miliki
Ayolah kau mengerti bukan?

Nikmati saja malam ini
Bersama hembusan angin malam yang dingin mencekam
Bersama lilin buta
Kau akan menikmati keindahan alam ini

Ayo
Nikmati saja
Aku pembawa peradaban
Jangan kau khianati keberadaanku
Aku adalah dunia tanpa punah
Jadi marilah

Aku datang menjadi tamu pembawa nikmat
Di sela lamunanmu tentang surga dari fatwa filsuf langit
Aku mencoba menafsirkannya bukan?
Kau tentu tau
Aku tak lagi berucap
Karena kita adalah satu dari dua yang akan menyatu

Gie

DEMOKRASI BUKAN AGAMA

Foto : ilustrasi puisi
Sumber foto : makeameme.org

Untuk apa kau tulis fatwa apalah
Aku sudah sejak lama membuangnya
Sebab tak ada lagi yang perlu kita sesalkan
Semua sudah tersirat dalam panggung demokrasi
Bahwa nilai elektabilitas lebih tinggi dari keyakinan

Ah sudahlah
Tak usah dulu kita bicara tentang langit
Sekarang mari kita nikmati saja yang ada di depan kita
Ayolah.....!!!!!
Ayolah sayang
Mari berdansa
Buang semua wibawa dan adab agama
Sebab politik dalam berdemokrasi bukan agama
Jadi mari kita ikuti intrument yang telah tercipta
Sebagai wujud kecintaan kita kepada umairah dan ulama

Ayolah sayang
Telanjangi saja semua kain pembungkusmu
Biarkan mata liar bebas menikmatinya
Karena terlalu angkuh jika kau masih mempertahankan kewibawaanmu

Jubah?
Tak usahlah
Besok juga bisa di beli yang terbuat dari sutera
Tak usah kau pedulikan
Sebab pesta baru saja di mulai
Ayo nikmati dansanya

Ayolah.....
Kau tunggu apalagi?
Kaum sedang menunggu
Tunggangan dari fatwa tuk menuju surga

Ayolah
Buang semua keyakinamu
Langit masih akan memberi hidayah
Percaya saja apa kataku
Kau akan mengerti tentang filsafat langit

Yakin saja.... Kata Adian di ujung acara
Kau mau apalagi?
Yakin sajalah
Tak usah dengar kata wiji rendra apalagi munir
Mereka telah abadi dalam dunianya
Mari kita berpangku tangan
Menjadi pendengar yang baik dari semua skenario
Kita bukan pemain
Ayolah
Kita pulang
Kita hanyalah budak dari negara
Yang menjadi penonton dari turnament elit

Ayolah tak usah bicara
Kita babu
Kita rakyat jelata
Kita bodoh
Kita adalah ulama Google celoteh fahri
Itulah demokrasi

LAPINAKU WANITA REMBULAN

Foto : ilustrasi puisi
Rembulan sekarang aku percaya bahwa indahmu adalah semu
Aku percaya dengan kalimat yang tak pernah kau ucap
Bahwa kau tidaklah indah bagi pemujamu
Karena kau hanyalah olesan dari lipstik matahari
Yang meminjamkan cahaya saat kau butuh pemuja dari jiwa pedamba

Rembulan sekarang aku tau
Kau adalah pembohong bagi para jiwa
Yang memuja keindahanmu
Kau bahkan tak lebih dari seonggok daging yang telah busuk
Yang di tuang dengan anggur keindahan
Hingga semua mata mabuk dalam kesemuan keindahanmu

Rembulan kau adalah wanita terbusuk
Kau lukai lukaku
Kau sayat lagi luka lama yang telah terkoyak cabik
Hinngga sesak melanda detak nadi
Bernapaspun tak menentu dalam memaknai skenariomu

Rembulan kau wanitaku
Wanita lapinaku
Yang menghibur di kala butuh
Butuh terpenuhi lalu menghilang
Menghilang di balik awan hitam
Hitam jemariku legam
Legam hati yang dendam
Dendam pada rindumu yang semu
Semumu wahai lapinaku
Lapinaku wanita rembulan

Rembulan tanpa rasa tanpa kasih
Menghilang di ujung harap pekat malam
Tanpa gemintang sang bintang
Kejora pun hilang
Di telan jingga yang terbungkus rapi di ufuk timur

Pagi ku datang
Rembulan hilang
Namun sayatan malam sang rembulan masih membekas
Membawaku pada kematian rasa
Aku lelah

KAU INTAN DARI KERAK BUMI

Foto : sang penginspirasi puisi
Aroma aksara dari bau tubuhmu semakin bisa ku baca
Menidurimu dalam kasih huruf buta
Lalu kau membuat puing dari kiasan masa lalu
Entah seperti apa aku akan menjamu mu

Ratapanmu tentang rindu selalu kau bisiki tiap waktu ku
Hingga aku percaya kau hanyalah pecandu dari aksaraku
Hingga tak lagi aku hiraukan kalimatku
Ternyata kau adalah penulis sunyi di balik sepi
Yang menertawakan kalimat-kalimat hampaku

Amboyyy
Kau intan dari kerak bumi
Yang telah terasah dari zam-zam vulkanik
Melapas busur tikam pitaku
Hingga bisu semua kalimatku

Aku gagap dalam fasihmu
Aku tuli dalam suaramu
Aku tanpa kata tanpamu pun darimu