AKTIVIS BERJIWA PRAGMATIS

Foto : Ilustrasi Puisi
Para aktivis berjiwa pragmatis
Sedang di serang oleh rasa dilematis
Berjuang mencapai finis
Di ujung perjuangan yang miris

Semua orang memvonis
Bahwa jalan yang di ambil adalah strategis
Tanpa tau mereka adalah orang fanatis
Terhadap hati yang humoris

Pikiran kronis
Memaksa jiwa patriot terkikis
Hingga perjuang terkilis
Terlindes oleh peradaban milenialis

Sadis

Sementara jangan di gubris
Mereka adalah intelektual tanpa baris
Barisan jalanan di ujang persimpangan majusi

Strategis

Pikiran dan logika kaum shopis
Menang di atas mimbar adalah prioritas
Kesimbongan pada ego sentris
Pintar cerdas jenius
Logika identitas
Devinisi tanpa ujung pada retorika keris

Tragis

Lika-liku di ujung paris
Revolusi kata di ujung garis
Di pintu gerbang bulus
Tanpa rasio yang penting mulus
Kalkulus

DAUN ILUSI

Foto : ilustrasi puisi
Daun ilusi
Para penikmat kopi
Pencetus intuisi-intuisi pada sepi
Hadirkan puisi bersama literasi
Untuk para jiwa-jiwa sunyi
Mari tetap bernyanyi
Mainkan gitar untuk sang bidadari
Kita abadi pagi ini

Ayo bakar kembali
Lintingan masih ada sisa tadi pagi
Tambahkan lagi kopi
Kita mainkan imaji di langit tinggi
Terbang bersama jibril yang sedang menyendiri
Menghibur luka yang telah lama lebam oleh janji
Janji para politisi

Kita jangan mau tertipu wahai generasi
Mari kita bakar lagi daun ilusi
Kita bermain di sini
Di dinding mimpi-mimpi bob marley
No woman no cry
Ayo tony
Kita kembali menikmati mimpi
Menjumpai langit yang metangkul bumi
Kita main di sini
Di bumi tanpa arti
Hidup seratus tahun lagi
Kita abadi

Gie
26 Maret 2019
Pena langit di kota tepian air

MIMPI UNTUK LITERASI BIMA YANG INDAH BAHKAN MENGALAHKAN INDAH(nya) DAMAYANTI PUTRI

Foto : ilustrasi puisi
Kebebasanku kini tak lagi sempurna
Karena rindu kini telah menjelma dalam lara
Menjadikan hidup kini tak lagi bermakna
Pada setiap langkah kaki yang yang kupijaki di tiap bayangan lentera
Kau seumpama belantara
Suaka marga satwa mampu kau bina
Namun tak dapat kau pilih mana yang akan menjadi raja rimba

Mungkin kau akan memilih singa yang akan menjadi raja rimba
Namun sang janda tetap berkiprah di atas malapetaka
Menggerogoti setiap aliran darah sistem janggal yang sedang di tunggangi
Kuda liar dalam nafsu syahwat
Hendak menerjang liarnya nafsu birahi penguasa tahta
Konon katanya adalah dinasti ming-mung-meong

Oh... Iya
Mereka tengah terbangun dari mimpi untuk membangun peradaban literasi Bima
Literasi wacana rencana bencana
Korupsi buku budaya yang enyah entah kemana
Siapa?
Sistem katanya tak mau di tau..!!!!
Selasar ruangmu
Tak beratap namun berdinding
Bergelinding merinding pingin
Naik ke atas atap melepas
Sistem berikrar pada publik

Phobia kataku tak mengerti
Kita bangun litetasi kiri untuk bima yang lebih harmoni

Ogah

Semoga Tuhan tak lupa menulis
Sama sepertiku
Untuk membungkam sejarah dan meruncingkan nalar
Untuk mengingat dosa peradaban
Untuk mengingat pelacur ada di di atas meja istana
Istana para borjuasi yang sedang di serang penyakit busung lapar

Sundi

Kita punya tuan
Kita punya Tuhan
Kita punya raja
Raja singa kata tetangga
Tetangga malang terinfeksi bualan janda
Janda menggoda memperkosa menyebarkan virus
Virus cinta pada setiap sentuhan lembut tangan mulusnya

Aku pun kagum
Kagum dalam program yang entah apa?
Literasi ku akan tetap tergapai
Sang surya dalam darah membara membakar saraf-saraf murni
Hingga menemui langit dalam dekapan bumi
Bermimpi untuk literasi Bima yang indah
Bahkan melebihi Indah(nya) Damayanti Putry

Ini mimpi ku
Dalam hati tak memilih kekuatan untuk yang utama
Tapi Garuda ku ingin cepat terbang bersama semua mimpi dan cita-cita Negeri
Kecerdasan anak bangsa
Keabadian dalam sejarah
Literatur litetasiku

Gie
25 Maret 2019
Pena langit di ujung timur wera

MENEMANI SENJA YANG SEDANG BERDUKA

Naskah Kita
Foto : Ilustrasi puisi

Menyikapi senja di pinggir kota
Bernafas di antara dua hidung yang sedang bertatapan dengan kasih
Sang jingga mengatupkan matanya sebab malu melihat miris liarku
Menatap tajam jauh tanpa mata
Liar semua dalam keindahan imajinasi
Aku tengah menghayal syurga
Sedang kau tengah menanti apa?
Kita luar dalam liar yang menghantui nafsu

Seuntai kata terucap dalam bibir manis mungilmu
"Aku malu pada rindangnya pakaianku"
"Kau menghilangkan wibawa yang ku tutup rapat dalam-dalam" sambil menitikkan air mata kau berucap pasrah mewakili cinta dan juga kekecewaan sebab luka abadi telah terenggut oleh birahi semu yang menghitamkan pikiran, bersama senja yang siap meninggalkan hitam lalu hitam tertanggal dalam pikiran kita.

Kita?
Tanya tanpa jawab yang kian menggerogoti pikiranku sebelum ku tulis naskah kita dalam diari depresi yang menggilakan pikiran ku untuk melakukakn gerakan gerylia terhadap penindasan cinta yang di wakilkn tuhan pada wanita dengan dengan dalil pencarian taldir dan jodoh yang hari ini telah terenggut oleh maut dan lelaki setan yang menghilangkan nilai cinta dengan desakan orang tua pada nilai-nilai kapitalis yang ku fatwakan di tiap mimbar jalanan. Sayang ini adalah naskah kuta, naskah sakit hati dan juga naskah untuk mrngabadikan kisah kita yang sama-sama liar dalam penyatuan cinta kala itu.

Andai.....!!
Namun tanda seru tak mampu menjawab dari tanda tanya yang memberhentikan tanda koma sebelum tanda titik tertetes di ujung literasi yang kita semai dalam dua tahun sayang. Jalan ini kini jadi sunyi dan mencekam setelah ku lewati dalam kesendirian lalu menghadirkan intuisi untuk mengabadikan kisah kita dalam naskah sakit hati dengan senja yang sangat jahat yang seakan menertawakan nostalgia ini dengan menyengirkan senyuman sinis di ujung antero jingga.

Sayang dengar dan lihatlah naska ini,
Naska yang akan memberikan dogma terhadap kasih, bahwa aku adalah penjara dan gembok pikiranku pada nostalgia yang membawa hati pada nelangsa yang tak berkesudahan.

Tapi....
Semua telah berlalu beberapa menit lalu, kita tengah menikmatinya bukan? Seuntai senja dan sekeping hati yang di bubuhi kasih memberikan cinta dalam syurga yang tak pernah hilang dalam ingatan. Senja yang hilang bersama rongga mu yang memercikkan kemerahan di ujung cakrawal dan ujung majazi liarku.

Aku dan kamu lalu menjadi kita dalam penyatuan yang bersatu, memejamkan mata setelah kujejali telingamu dengan bisikan mesra yang membangkitkan gairah cinta yang aku kamu maknakan dengan sunyi kebisuan yang hanya ada suara desahan nafas yang meronta ingin mengambil kepuasan dari dalam samudra abadimu abadiku. Kita. Yang tercerna semua adalah laku yang indah bukan? Jemari mulus menggerogoti kaki ketiga dalam dimensi kita yang tak bisa terucap dan tak bisa teruntai oleh aksara karena undang-undang dandanan para pemfatwa bualan kosong.

Aku dan kamu. Kita.? Yang tengah menikmati jingga, Menemani senja yang sedang berduka lalu kita sama-sama tertawa sebelum kita sama-sama berduka dalam satu pelukan yang telah merenggut kesucian dan kewibawan kita sayang. Semuanya telah berlalu, kita sepakat tanpa paksa meluluh lantakkan rerumputan hijau dengan tubuh tergeletak tanpa paksa.!!! Sekali lagi tanpa paksa..!!!

Kita adalah dosa bersama yang terencana dengan indah sebelum ikrar kita ucapkan bersama akan pergi dan berjalan bersama di atas altar. Lalu kita bersama menggariskan keturunan dengan menyatukan tangan pada genggaman yang terjanji untuk segera mengakhiri percintaan liar dengan menghadirkan fatwa agama dalam hubungan kita agar semua di akui langit dan adat yang telah kita anut bersama-sama. Ironisnya mimpi bukan?

Kita bersama-sama berjalan tanpa ada keresahan, kita berdua dalam satu genggaman yang tetap menyatu melintasi semak-semak menuju kendaraan yang terparkir di sudut pantai di tepian air pinggiran kota. Aku kamu yang sempat menjadi kita terpatri menjadi satu dan menyatu sebelum kita di hempaskan oleh kenyataan yang sangat pahit untuk dua hati yang berpadu dan terpaut dalam cinta yang kini telah menghilangkan aku dari diriku

Kau datang di suatu pagi dengan senyuman sumringah pada saat itu, senyuman hang paling menawan yang pernaj ku jumpai sejak aku mengenal dan bersamamu, pikirku senyuman itu adalah senyuman keindahan dan keabadian cinta mu, namun seribu kali luka tengah kau taearkan dalam senyum manis bahwa ada jumpa yang tak akan lagi berjumpa setelah kau ucapkan kata dengan halus di sertai bibit titpis mu yang bergeter seakan merasa canggung atas ucapanmu.
"Mada ka nikah ra babae, ndai ta cua hampa sandake mpa, mada wara dou ra pata ba dou ma tua ku ma mai kai ku. Bune c ntika au ra pernah karawi ba ndai re, ta cua nefa sama ra. Labo na cua wara c ana ta peas re, ta ka jodoh mpa ana ta ndai ta sae" (aku akan segera menikah bang, hubungan kita sampai disini saja. Aku sudah ada lelaki pilihan orang tua ku yang datang melamar. Jadi apapun kenangan dan yang pernah kita lewati dan lakukan bersama-sama, tolong hari ino lupakan karena itu akan menjadi kenangan. Insyaallah nanti jika kita punya anak, kita akan menjodohkan anak kita karena sekarang kita tidak berjodoh)

Hancur, semua berantakan dan aku sedang tak lagi mencari dirimu dan apapun kenangan bersamamu sebab aku sedang sibuk mencari diriku yang sebelum aku mengenalmu, dan yang ku dapat adalah ke hampasn dan tetap ada kamu di sini, disisiku yang siap memberontakki pikiranku agar segera menemuimu dalam satu kata perjumpaan pada rindu yang hilang. Istri orang.

Gie
22 Maret 2019
Pena langit di kopa henca
Sateka poja

INTUISI DI UJUNG PUISI

Foto : Mei
Aku adalah pengakuan
Jiwa ku sunyi dalam keramaian
Tujuan tanpa arah
Hilang muara kemana tertuju

Langit tak mampu memapah
Bumi tak mampu menerka
Hati kian merebah pada pembaringan tanpa berani
Ah kecut sekali
Ketakutan akan segala kata untuk menguntai
Kata-kata ku buta
Kata-kata ini hanyalah dari pecandu aksara dan pengagum rahasia dari matamu

Matamu indah
Samudera yang tertuang di tiap kedipan netramu adalah penjara suaraku
Gembok kalimatku
Kau menang dalam menjajah segala kemerdekaan hidupku
Kau menang kali ini sayang
Selamat malam
Selamat telah membuat aku terjatuh dalam ribuan kali

Harap
Semoga kau mengurai dan membaca intuisi di ujung puisi
Agar asa tak tercerai dari iming
Untuk mu rindu dan cinta ku

Gie
21 Maret 2019
Pena langit sang penyair trotoar jalanan
Kota Bima kota Tepian air