Memandang Kedalam

Dengan dua lensa ku berkaca
melihat semua yg tertera
Memandang dalam berbagai titik cakrawala
Memandang ke dalam hingga aku ingin berasa
Menuang semuanya dalam hitamnya tinta,
Coba ku usik pikiran dengan sejuta olesan warna,
Coba ku rangkai kata agar menjadi bermakna,
Semoga laksamana ini menjadi pelita, Penuntun jalan dalam segenap cita
agar doa terkabul dalam setiap takbiran berirama
Gie
11 Sep 2019
#Terawang

Berdikari Untuk Meraih Makna Kehidupan Yang Hakiki


Berdiri dengan satu kaki untuk meraih kekuatan sejati
Dari alam yg tersembunyi di balik pandangan mata
Dan ketika semuanya tercapai
Akan keluar cahaya kebenaran dengan wujud bara
Yang akan menyilaukan mata para pendusta kitab suci
Jika kebenaran telah terkikis di hati
Maka tak ada lagi rasa yg akan membuat hidup berwarna
Semua yg kita lewati terasa tak bermakna dan nisbi
Dan perlahan hati akan mati.
Cobalah bangun di dalam malam yg sunyi
Bersandar pada cakrawala berkaca pada masa
Setelah kau termangu dengan mimpi.
Maka ambillah satu pilihan yg keluar dari dalam hati
Yg tersembunyi selama ini ditutupi awan dan pelangi
Karena selama ini kita terlalu mementingkan diri
Hingga tak pernah berkaca untuk mengingatnya
Itu saja hari ini, sempatkan diri untuk mengingatnya
Meski dalam penat yg sangat berasa
10 September 2019
Gie

Aliran Listrik Perpisahan



Masih paling lengkap semua kenangan
Kenang-kenangan saat pengorbanan menjelang maut
Meremas dada menahan pilu
Dalam detak detik ia tergeletak di tanah

Rayuan maut datang melamar
Saat menyambung aliran kehidupan
Kau membuatkan aku satu kayu pelukan
Kemudian menghilang selamanya

Kepergianmu ukan waktu yang sedikit
Namun waktu masihku rawat dalam nostalgia
Meski kerap menjumpai nestapa
Namun mengenangmu adalah candu dalam buah hati yang kau tinggal

Aliran listrik perpisahan
Menyedot nyawa sang lelaki perkasa
Memberi luka menelan nyawa
Ia tergeletak tanpa sesiapa

Ia hilang tanpa ada yang melihat
Kehilangannya begitu cepat
Ujung kabel bertemu ujung jari
Hingga membawa dan juga cinta pada ujung maut
08 September 2020
Ginanjar Gie Abdul Latif
°Sastrawan_sesat
^Kopi_kenangan

#NB
Puisi atas permintaan akun fb an. Takwa Sangiang guna untuk mengenang suaminya yang telah hampir 10 Tahun meninggal akibat sengatan listrik

Aksara Yang Selalu Tergenang Dalam Tenang

Percakapan yang tak mampu teruntai

Terjuntal-juntal dalam lintang semesta

Pikiran memeluk sunyi

Bahasa-bahasa sabda berambisi ingin bersuara


Konak yang menolak

Majazi pada rangkaian tujuan

Terhimpit katulistiwa ketakutan

Lalu membias menjadi peribahasa


Aksara itu tergenang dalam kenang yang  terbalut

Dalam kubangan pikiran yang kalut

Dalam rangkaian doa yang takut

Terkungkung dalam situasi kemelut


Meramu dalam nuansa sasar

Menenggelamkan makna di balik arti

Kemudian meng-ambigu dalam susunan kata

Biarkan saja


Kata-kata yang tak pernah istrahat

Terkulai ia dalam godaan pena

Merangkai satu titik setelah tanda koma untuk menjeda

Lalu terhenti selamanya.

31 Agustus 2020

°Sastrawan_sesat

^Kopi_kenangan

Orasi : Kekejaman Penguasa dalam Membunuh dan Memakan hak Rakyat

Foto : Marra
Oleh : Marra

Otak tumpul jadi andalan 
Membabi buta intruksi jalang sialan
Hati yang legam beku kini jadi sandaran 
Untuk jiwa mereka yang kini ditelan

Dengan ego dan mimpi bak kotoran
Gemakan kata iba pada kemanusiaan
Sementara dalam kenyataan
Ia bagai drakula yang menghisap darah perawan

Lantangkan suara menyambuk semesta 
Dengan salam hak asasi dusta 
Sementara dalam kitab yang tertera
Aturan yang semakin menjadi Bara

Ia membakar segala mimpi rakyat
Anala itu membakar semua yang terikrar
Janji dulu yang sewangi sekar
Kini diganti bau angus ban bakar

Lantang bergaya seolah sekata 
Dua-duanya sama saja
Akal bulusnya semakin meraja
Dan menguasai ambisi jiwa dan raganya

Sumpal pejabat dengan nota kertas nominal sejajar
Biarkan ribuan nyawa jadi korban asal untung besar terkejar 
Sumpah dipublik dan di bawah kitab suci kembali di ingkar 
Tindakan Si Tikus berdasi yang katanya punya gelar

Darah dan teriakan pembantaian manusia
Dianggap biasa dan dijadikan ladang usaha kerja 
Benar nian Kami memang umat akhir masa 
Di mana uang, lebih berharga dari nyawa

Agama dikuliti lalu di bombardir
Demi tahta dan uang yang bergulir 
Perdamaian jadi bumbu politik para pemilik suara bak api yang berkobar 
Sementara bualan Si kerah putih Bermuka dua yang berorasi kini tengah berkoar-koar

Fasih kini aku katakan
Hidup di zaman penuh kemungkaran 
Agama di monopoli, HAM tempatnya pencitraan 
Oleh mereka yang bangga bersenda gurau di atas penderitaan 
Kami yang tersiksa dan saudara kami di kebiri dengan kejam

Anak Zaman
Zaman fitnah 
Zamannya konspirasi 
Nyawa manusia dipandang enteng
Dalilnya toleransi
Saat bersuara kita dikecam induknya provokasi 
Kita diam tunggu mati jutaan saudara dihabisi.