AKU ADALAH DIRIKU

Foto : penulis

Hadirku memang tak memberi warna
Karena aku bukanlah pelangi atau pelita
Yang dapat menerangimu dengan cahaya
Aku hanyalah pemuda pengembara
Yang tak tau arah dan tak tau kemana

Hanya penguasa yang tau
Apa yang aku cari dan ku mau
Jika dirimu tak sanggup mengimbangi hidupku
Terpaksa ku lepas engkau tuk berlalu
Agar kau bisa menjalani hidup baru

Kini aku tau
Kamu memang begitu
Tak pernah mengharapkan ku
Apalagi mencintaiku
Andai saja dari dulu aku tau
Kamu hanya mempermainkanku
Tak akan ku kenal dirimu
Meski dalam semu

Aku memang tak sempurna
Tak berparas tampan dalam rupa
Tak juga bergelimangan harta

Tapi inilah aku
Aku adalah diriku
Tak punya rasa kaku
Setiap hari berjalan tanpa ragu
Meraih cita-cita dan membuatmu malu
Karena telah mencampakkan cinta sejatiku

Setiap hari aku melewati kerikil kehidupan
Yang mengganjal pada tiap tapakkan
Dalam menggapai sebuah harapan
Untuk sebuah kesuksesan
Dihari yang telah Tuhan takdirkan!!


Saat itu aku akan berteriak dengan lantang
Menyatakan pada dunia aku datang untuk menantang
Menjadikan namaku seorang yang terpandang
Menaburkan genderang gendang
Tanda waktu kita mulai untuk berperang

Semua ini adalah sandang
Untuk ku jadikan pedang
Penumpas kehidupanku yang malang
Sayang (sandal melayang)

BERSABAR MENUNGGU KEPASTIAN

Foto : penulis
Kesabaran Bukanlah telapak tangan yang selalu menghadap dinding langit

Kesabaranku bukan pula menanti ketibang permata

Namun kesabaran adalah Menundukan hati menegakkan kaki untuk terus berusaha

Berbicara kesabaran tidak membenci ketidak pastian dan tidak menyembah keberuntungan,  tapi kesabaran berbicara tentang rasa syukur akan keadaan yang masih belum sependapat

Jauh melintang kehidupan tersirat tabir-tabir penghalang
Bagi yang tak pandai mendaki akan tergelincir dan terkocar kacir,  yang telah mendaki belum pula merasa telah menang

Karena hidup tak sebatas   menjadi nomor satu
Tapi hidup yang sesungguhnya adalah menanti kematian

Sebelum kematian datang,  bersabarlah menunggu kepastian

Penulis :sofyan

MANUSIA PENJAMAK TUHAN

Foto : penulis

Dibawah rembulan yang terang
Menyinari hati yang redup
Mengungkap suatu tanya
Akan waktu yang tak bertumput arah

Akankah suatu tanya menjadi jawaban
Dimalam yang terang disaat hati yang redup
Kuasanya tuhan memang bukan aku yang menentukan
Adakah secercah cahaya yang terpendam dibalik dada yang sesak

Engkau rembulan tidak pernah menjadi sahabatku
Padahal engkau selalu bersamaku
Kenapa hanya engkau yang bercahaya
Tanpa engkau tahu gelapnya rasaku
Bila engkau sahabatku, aku pun rindu gemerlap tanpa noda berhala

Dibawa rembulan yang terang menyirat hati yang redup
Luka lama tergores menjadi luka baru tanpa tepian

Ternyata benar,  batasku hanya seorang manusia lusuh yang tak berdaya akan kehendak.

Penulis : Defisofian

MASIH SELALU MENGHARAPKANMU

Foto : Ilustrasi puisi

Luka dalam hati begitu pedih
Hati lara galau dan begitu sedih
Bak hujan angin gemuruh
Selimuti hari yg kian jenuh
Setelah kau putuskan untuk menjauh
Dari diriku yg inginkan dirimu menjadi pembasuh peluh

Berlalu kisahku denganmu
Meninggalkan bekas luka dalam kalbu
Membuat hari terasa layu
Berkaca pada cahaya silau
Yang Membuih menjadi tabu
Atas rasa dulu yang sangat biru

Tapi....
Walau engkau pergi meninggalkanku
Tapi yakinlah cintaku selalu untukmu
Meski hati ini begitu parau dan galau
Dan begitu sangat rindu
Ku ikhlaskan engkau berlalu
Jika itu yang terbaik untukmu

Namun jika kau ingin kembali padaku
Percayalah cinta ini masih tetap sama seperti dahulu
Cinta yang sama untukmu
I love u

SELAMAT JALAN KAWAN


AKU MENGUTUK KEMATIAN

Kurasakan betul bagaimana hitam itu
Ia mengalir bagai darah yang membara
Tak ada yang mampu di lihat
Bahkan tatapan tak mampu melihat di depan layar

Sempat di sapa oleh suara
Namun hirau entah kemana
Ia mendekam dalam alam yang sangat jauh
Menyerupai buta tuli tanpa indra

Aku mengutuk kematian
Sebab kehilangan adalah bencana
Pemberi luka derai air mata
Air mata dia
Air mata ku
Air mata para kolega

Aku benci perpisahan
Sebab menidurinya sangat menjijikan
Hampa tanpa tepi
Sakit tanpa luka

Hari kemarin kita minum kopi bersama bukan?
Sekarang kenapa kau lekas pergi tanpa sepatah kata?
Bukankah aku di depan mu tadi?
Di dekat pembaringan aku berdiri
Apa kau tak mendengar?
Aku memanggilmu
Kau tuli?
Kau buta?
Kau mati?

Tak percaya rasanya sobat
Kita baru saja berpikir bahwa kita akan menjadi orang yang akan merubah wajah desa kita
Kita berbicara sambil asap ngebul menjulang di udara
Kini kau telah terlelap abadi
Terkulai dengan wajah pucat pasi

Kau ingat bukan?
Tapi kau bisu dalam diammu
Kau tuli dalam lelapmu

Selamat jalan brother