Negeriku Katanya

Puisi untuk negeriku
Negeri yang katanya Permusyawaratan perwakilan
Negeri yang katanya bersistem Demokrasi
Negeri yang penguasa dan elit politik yang katanya membawa perubahan

Katanya adil dan makmur bagi seluruh rakyat indonesia
Katanya Kemerdekaan mengantarkan rakyat kedepan pintu gerbang kemakmuran
Yaaaaa
Negeriku Katanya..!!!!

Dalam tanda tanya kita mau kemana
Revormasi menuju demokrasi
Demo yang tak berujung ada di pinggir jalan
Parlement jalanan menuntut keadilan
Jawaban dari ketidak adanya jawaban
Dari negeri ku yang katanya
Pemberi janji tiap periodesasi
Elit-elit bangsat yang senang membual

Lembaga-lembaga penuntut umum di bangun
Bangunan elit habiskan uang nagara
Dalil demi dalil pencitraan penunjang nama
Akhir kata lepentingan pribadi dan kelompok yang menjadi prioritas

Pembangunan intelektual lagi-lagi hanya wacana
Akal sehat di bungkam dan di penjara di bawah kubangan
Intelektual di buang di pinggir selokan
pendidikan jadi praktik kapitalisasi kaum borjuasi

Demokrasi adalah dalil periodesasi
Luka lama kembali terulang setiap Pergantian periode
Siapa yang berjanji siapa yang melaksanakan
Tak ada jalan untuk kembali percaya akan syarat kepemimpinan

Negeriku demokrasi
Untuk kekuasaan segala cara untuk di halalkan
Termasuk jual kepala
Pun bayar perkepala

Lembaga-lembaga umum kini mulai Bungkam
Tanpa alasana suara berikhtiar
Kerja nyata membangun sumber daya hanyalah wacana
Demokrasiku yang hampa

Luka Bertubi-tubi

Foto : Penulis
Lelahlah hari
Kau memberi lagi satu sayatan kasih
Menikam berkali-kali hingga luka mengulam pedih
Saat langit senja menari dalam tuaian kemilau jingga

Kenikmatan kasih yang telah hilang dalam ikrar sahabat tengah ku urai dalam puisi
Segala intuisi beserta kenangan telah menyatu dalam makna kata-kata
Berharap sunggik dari kasih sayangmu datang memapahku
Namun kau tak jua mau mengerti

Kau buta dalam penglihatanmu
Ambisi ingin di mengerti tetatp terdalih dalam gerak bibirmu
Sementara jauh disini
Pikiranku Nun jauh di ujung semesta
Bersama sahabatku yang kini terbang ke nirwana

Kenikmatan dalam membelai telah ku pelajari
Memeluk sunyi dari tungku yang di bakar sendiri
Hingga tak sempat ku berjabat dengan rindu
Kepergian dan kehilangan kembali menyambuk hati

Lalu
Kenikmatan mana lagi yang harus ku telusuri
Sementara segala lara telah ku telanjangi
Hati nelangsa dalam buaian mimpi
Jua sakit akan kata pisah dari hati yang di harap untuk menemani saat pedih

foto : Penulis
Kemana lagi kaki akan memapah
Kemana langkah akan terarah
Penjuru kota telah habis
Bekas tapakkan bisa kau lihat di pinggir trotoar

Langkah
Langkahilah
Sudahi perjalanan ini
Tiada ada tujuan dalam pencapaian
Selalu kata hampa yang datang menghampiri

Luang
Luangkanlah waktu
Lihatlah aku disini
Bersama luka yang makin melebam
Bersama mimpi yang tengah tak pasti
Menunggu sempat untuk hadirkan takdir dalam pangkuan
Agar kebahagian tiba di masa yang akan datang
Meski tidak dengan wajahmu
Tapi dengan jiwamu yang telah memenjara kehiduapanku
Doaku

Nostalgia Lara

Foto : ilustrasi puisi
Lantunan adzan berkumandang mengiringi kepergian
Mengantarmu pada liang lahat
Pada pembaringan abadi setiap jiwa
Yang terikrar di tiap falsafah kehidupan

Teriring air mata di atas nisan
menjumpai pedih yang terketuk dalam batin
Semburat senyum persahabatan kian menertawa
Kenang-kenangan membawa pada cakrawala yang hilang

Tuhan...
Bukanku menyalahkan takdir
Bukan pula ku kutuk sabdamu
Bukan juga ku gugat kasih sayang dan rahmatmu

Namun...
Tuhan....
Inikah sakit yang tertawar dari setiap skenario takdirmu
Inikah bukti dari cinta yang kau cipta untuk penyatuan
Inikah balasan atas setiap kasih kita pada manusia
Inikah yang di rasa untuk setiap untaian tali rahim yang terikat pada kata persahabatan


Mengapa?
Mengapa harus ada pertemuan
Jika pertemuanberujung perpisahan
Memberikan luka
Menanam benih-benih kepedihan
Mematikan hasrat dan nafsu pada setiap yang menumbuhkan saraf

Tuhan....
Tak terwakilkan kata sakitnya
Telah kehabisan kalimat untuk mengurainya
segala dilema atas kepergian sahabat yang baru saja kemarrin menemaniku minum kopin sambil mengsap rokok di tengah kebekuan malam
Bercerita tentang pahit manisnya perjuangan dan tentang kenikmatan dalam berorasi untuk sesama

Kenangan itu
Segala kalimat motivasi
Semua retorika yang menginspirasi
Teukir dan tercatat dalam pikiran

Ahhhh
Kembali
Sebutir embun yang tak di undang hadir di sudut pelipis
Menemui bayang wajah sahabat yang kini telah tiada
Meracuni rasa yang ingin kembali  bercengkrama
Atas ide-ide jail yang pernah teucap dalam canda setiap kita bersama

Rasanya...
Kenapa harus ada rasa yang demikian
Kenapa Demikian sesakit ini merelakan kepergian
Bukankah kemarin kau memerintahkanku untuk belajar?
Kemarin kau mengocehi segala perbuatan yang melanggar untuk di perbaiki

Namun
Hari ini kau diam membisu seribu bahasa
Bahkan teriak dan isak tangisku di telingamu tak kau hiraukan

Apakah kau tuli?
Sobat........
Bangunlah
Mari berdansa denganku dalam alunan lagu kebangsaan
Suara kita adalah suara yang akan menggetarkan istana

Ayo sahabat bangunlah
Jangan diam
Jangan mebisu seperti ini
Bangunlah.....

Ya..... Tuhan...
Gilakah aku
Hilangkah kewarasanku?
Kenapa tak kau bangunkan ia
Kenapa kau renggut kehidupannya

Tuhannnnnn

Seribu kali kata waras ada di kepalaku
Namun kenangan ini berjuta kali menyambuk derita
kepergianna adalah kehilangan keseimbangan kehidupa
Maka kembalikan ia dalam bentuk yang sempurna
dalam reinkaarnasi untuk penemani hidupku
Bukan wajahnya
Bukan jiwanya
Tapi anak yang sedang di kandung istrinya tolong selamatkan ia sebagai pemberi hidayah untuk menyembuhkan segala luka bagi orang-orang yang telah di tinggalkan.

Rabbana atina fiddunniya hasanah wa fill akhirratil khasanah wakina azzabarnar






TENTANG YANG HILANG

Foto : ilustrasi puisi
Semua berlalu tanpa makna
Seseorang yang terharap jadi pelipur lara
Kini pergi meninggalkan luka
Memberi sakit sesakti Bara

Bermula pada ambisi
Ingin memiliki cinta dari sang tambatan hati
menjadikan diri terbunuh sepi
lalu lalang begitu ia tetap pada pelukan sunyi

Mendekapku dalam penantian abadi
Berharap abdi menjadi sisi pembaringan hati
Atas rasa yang kian menjadi
Menjadikan diri ini sebagai sanduran hati

Sungguh
Kau berlalu tanpa kata
Kabar tiada ada
Kemana kamu aku tiada
Tau apa tentangmu sama siapa

Tolong
Lihatlah
Palingkan pandangan untuk sekedar menoleh
Ada hati di sini yang tengah menanti
Bersamamu hadir sebagai pelipur lara

Datanglah
Buatlah rangkaian kataku menjadi bermakna
Karena Puisi ini ku tulis untukmu
Untuk hatiku yang telah di culik sepi
Atasmu yang pernah singgah lalu pergi

Lihatlah
Serangkai kata kini telah menjadi Rima
Menuangkan segala pilu kenangan yang ada
Jauh sudah telah ku tempuh masa
Menjalin cinta di atas bahtera
Namun kini telah tenggelam di dalam samudra
Bersama irama jemari dalam karya

Setalah sekian luka yang telah terawat dalam hari-hari yang di lewati
Kini aku mulai ber-intuisi
Untuk krhadiran secara utuh dalam pikiranku juga dalam hidupku
Harapku
Gie
10 September 2019
^Kopi_kenangan

Kenalan Di Dunia Ghoib

Foto : ilustrasi puisi
Dalam malam yang gelap, kulewati hutan-hutan kota yang telah tersulap menjadi tempat muda-mudi bermadu kasih.
Ku temui seorang gadis yang memanggilku dengan siulan mesra di balik batang pohon lebat, sedang aku adalah pemyda kolot yang baru saja pindah ke kota.
Aku mendekati arah gadis yang bersiul dengan mesra, bersama keberanian yang terkumpul sedari tadi dengan rasa gemetar ku selami tangannya, dengan wajag yang di pasang se so sweet mungkin.
"Ujang" ucapku sambil menyodorkan tangan kepada gadis tersebut.
sang gadis menjaeab dengan suara yang seakan mendesah
"Laras"
Percakapan dimulai, dari sabang sampai merauke habis sudah di bahas, lalu kami terdiam karena telag kehabisan kalimat untuk di bicarakan.
Si laras kbali membuka suara dengan nada yang sedikit dipadukan seperti para penyanyi Jazz
"Ujang nama panjangnya apa"
Dengan sedikit tersipu coba ku rangakai maksud pertanyan, yang kemudian ku tepis dengan mimik muka yang mengajak untuk bercanda.
"Bujangan ras" jawabku
Laras tak mau kalah, rupanya ia lagi sensitive, tanggapannya sangat menakutkan hingga bulu kuduk mulai berdiri.
Ia tak segan membuka sabuknya sambil memasang muka garang yang seajan melahap, kemudian berkata.
"Laras panjang" Sambil memperlihatkan senjatanya di balik selangkangan.
Perasaan takut yang tak terduga menyerang diriku, keringat dingin berkucuran di malam dingin membasahi bajuku. Dengan seribu alasan tanpa pikir panjang yang melebihi laras panjang mengambi langkah lalu berlari.
Laras tak mau kalah, ia mengejarku dengan senjata yang tak kembali di masukan dalan sarung, lalu berteriak "jangan lari" sambil mengejarku dan terus mengejar.
Aku kelelahan, tak ada tenaga, tak ada ide, dalam situasi gawat darurat bahkan melebihi tanda plus yang ada di atas ruang operasi.
Laras masih berteriak sambil mengejar dari belakang, sedang aku telah masuk kedalam semak-semak berduri guys.
Malam gelap yang hanya di tertawakan oleh bintang, si laras yang tengah mengejar dan terys mengejar berada di belakangku, aku terus berlari, di tengah nafas yang tersengal-sengal, konsentrasi rada buyar, aku berlari dengan kecepatan tinggi hingga membawa aku pada jurang kematian.
Aku terjatuh dan berteriak minta tolong dengan suara yang lantang. Kemudian aku terbangun dengan suara yang masih tergaung dalam ingatan juga gerakan mulut.
06 September 2019
Ginanjar_Gie
^Kopi_kenangan

Sedang Tak Ingin Menulis

Foto : ilustrasi puisi
Sedang Tak Ingin Menulis
Oleh : Pena Langit

Jauh ku lampaui waktu
Di sudut bibir-bibir pantai telah tertelanjangi
Samudera lepas landas dalam tabir cadas
Vulkanik menyapu lazuardi di sudut lima
Mata kepala jadi saksi
Mata hati jangan ditanya...!!!
Kemuskilan memutar waktu menjadi tombak nestapa
Ketakutan mengungkap tabir menjadi tonggak-tonggak tua yang tak ternila
Ketakutan akan rasa mengiba nasib dalam-dalam
Ketakutan pada wajahmu menghukum nurani kemerdekaan
Laungkan kata pada kataku
Aku ingin menikmati gerak bibirmu
Dalam satu lafaz cadel satu huruf
Mim-pi dan harapan adalah pertemuan
Asa
Masih jauh
Sangat jauh
Jauh langkah
Jauh mimpi
Jauh kata
Jauhilah bisa bisa-bisa
Sebab luka yang terawat dengan diam akan berbuah dendam yang menyakitkan
Memberi seribu peluang untuk dekat
Memberi sejuta peluang untuk berajak
Jauh tak berjarak dekat tak menyatu adalah kita
Ketahuilah
Pengetahuanku melebihi hatiku
Namun logika tak pula mampu untuk menetralisir
Segala polemik berkecamuk di atas arasy
Nafsu pun enggan memberi perintah
Selesai usai ku wakili
Semu-semu terbuang percuma pada dinding-dinding dingin
Terpendam terendap bersama bulir embun
Pagi jua tak tau mau menyapa dengan apa
Jauh
Sangat jauh
Semua telah kulewati
Bahkan kata lewat masih tak sempat melewati
Di satu titik tanpa kata dan tanpa suara
Disana pembaringan semesta menyetubuhi pikiran didi diriku
Ketahuilah
Sedang kupikirkan pikiranku
Sedang ku telusuri indra perasa ku
Namun yang ada aku tak merasa
Rasa-rasa kini bagai perasaan
Aku sedang tak ingin menulis
Namun wajah pena bercumbu denganmu dalam kepalaku
Kepala yang mana jangan di tanya
Sebab kepala asumsi pun konsumsi kita beda persepsi
Lihatlah ini malam
Kata-kata tak terangkai yang telah menjadi paragraf
Sedang penulis enggan memegang pena
Sketsa-sketsa wajah kini mulai buram
Hilang ilalang di balik nasib malang
Kau tau
Kuwakili dan ku akhiri dengan tinta
Bahwa semua pengetahuanku tiada ada
Jika pertimbangan adalah kamu
Bersama takdirku
Camkan
Sajak Gie
06 September 2019
^Kopi_Kenangan

Mama Wamena Adalah Indonesia

Foto : ilustrasi puis
Mama Wamena Adalah Indonesia
Oleh : Pena Langit

Adakah kau terbuang saudaraku?
Apakah Jawa telah pelik menatapmu?
Adakah aku jua yang di tengah-tengah menjadi penonton?


Tidak saudaraku
Kalian adalah saudaraku
Terlahir dalam satu rahim Pertiwi
Cendrawasih adalah semboyanmu juga Aku
Kita sama-sama dalam satu sistem yang menyesatkan

Tapi dengarlah kata-kataku
Kita harus lebih pintar dari para perintis revolusi
Bukan membunuh diri dengan mengibarkan yang bukan Merah Putih
Cukup Timor-timor yang hitam yang telah menjadi legam

Kita jangan lagi
Lihatlah saudara ku
Kita adalah Kata Indonesia
Satu huruf terhapus maka akan bermakna ambigu
Lihatlah saudaraku
Kulitku juga hitam
Darahku merah
Tulangku putih

Satu kata tak berperikemanusiaan tidak akan merubah warena itu
Kecuali kita selipkan mick-up untuk mendadani mama Wamena.

Cobalah tengok
Mick-up itu mesiu OPM
Mick-up itu peluru paham radikal
Kita bukan itu
Kita Indonesia

Tanyaku padamu saudaraku
Dari dalam lubuk hati yang paling dalam
Tentang sakit yang membuat menawarkan darah
Dimana pembaringan Mama wamena?
Agar bisa ku selipkan doa dalam setiap hariku.

Bukan itu saudaraku
Kita adalah satu
Jauh didalam kata-kata para sampah adalah propagandis
Bukan kita yang berbicara
Namun uang dalam Rekening Barat yang telah meng-gema-kan gaungan itu

Lihatlah saudaraku
Kritik dari timur telah aku pahami
Namun kita sama
Kita dekat dengan Ibu kota
Namun hanya kata ibu yang ada dalam diri kita
Kota nya telah lama mati
Kota mati

Ya
Kota mati yang isinya para makhluk hidup
Di dalamnya segala spesies tercampur
Namun satu yang di lupakan
Peradaban etika dan estetika

Lihat saja

Kita sama-sama mengenal gedung dari buku
Kita sama-sama melihat megahnya metro politan di dalam TV
Kita sama-sama melihat Monas akan di terbangkan ke Kalimantan lewat imajinas

Lihatlah
Betapa besar skenario sistem
Ia menghegemoni pikiran seluruh makhluk
Bahkan jika mampu
Tuhan-pun akan di tipu

Suadaraku
Ini adalah kataku
Kata pena sang penyair
Yang menulis tentang hati
Bukan kepentingan bubuk hitam apalagi emas mentah

Saudaraku
Dengarlah
Lihatlah
Kembalilah
Kita damai
Kita Indonesia
Sajak Gie
05 September 2019
^Kopi_kenangan

Sayang Bima Ramah

Sayang aku tak ingin kisah kita seperti laila majnun
Rindu tak berpenghulu yang berujung pilu
Karena seharusnya kita harus sadar akan sejarah
Bahwa luka yang di rawat dalam-dalam akan membawa dampak pada kesehatan serigara.
Sayang ingatlah, aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Sesederhana Visi-Misi Bima ramah tanpa realisasi keramahan
Bimanya kemana?
Ramahnya seperti apa?
Kabur dalam segala netra
Lihat saja sayang
Yang ada hanya cinta jalan-jalan
Dan kita akan mengarungi itu bersama-sama
Sebagai buah dari goresan waktu
Pun sejarah hati yang pernah patah karena di tinggal kan dengan label janda.
04 September 2019
Ginanjar Gie
^Kopi_Kenangan

Ratapan Sang Pertiwi

Ratapan Sang Pertiwi
Oleh : Pena Langit
Jemari malam kian merayap
Memutar bumi hendak meraih fajar
Namun jarum masih saja berdenting tiap detik
Keinginan hati haruslah terkandas pada satu sistematika
Rumusan 137 masih bersarang di kepala
Partikel-partikel kecil pemberi bentuk Bumi
Bumi bulat mana yang tak terlihat datar?
Disini kita bertanya pada hati
Karena pikiran bukan lagi rasional yang akan kentara
Kosmosku semesta
Rasiku bima sakti
Kita berada tepat di bawah naungannya
Zeus dan segala macam bentuk dewa telah lama mati
Kini Tuhan bersemayam dalam diri tiap setiap yang berkeyakinan
Makam-makam Tuhan mulai di bangun
Kita di giring untuk berziarah
Sementara dalam dalilnya aku ada dalam dirimu
Lalu kemana kita akan bersandar?
Pahaman rasis kini terkena razia
Bukan pelanggar lalin yang harus dapat penanganan
Kepala saja harus di penjara dalam cokol kepala segelintir kepentingan
Kasihan sang sosialis india
Ia berkata tak mampu penjarakan pikiran
Sementara kiri kini di hegemoni sistem
Kau mau apa?
Makam mu hanya tempat pergi berziarah
Selepasnya kenangan tak akan terulang
Karena begitu suara radikal di gaungkan
Pasukan bersenjata siap membantingmu dengan paksa
Kasihan si kepala
Butuh nutrisi namun di suguhkan zat aditif
Rajia narkoba seharusnya yang paling utama
Namun buku-buku kini jadi sasaran utama
Mirislah negeriku
360 adalah gerakan paling indah dalam astronomi
Simbol tiga di ambil oleh APBN Untuk pembangunan SDM
Namun kita tetap menjadi juara
Juara dua dari bawah dari 63 Negara
Literasi berkemajuan bukan?
Satu sentilan yang berbeda pahaman akan menuai penjara
Satu kata yang tak berkemanusian akan menuai pecah belah
Analisis tanpa arti di cerminkan oleh para elit
Seharusnya meraka pemeran utama adegan FTV
Bukan malah menjadi aktor utama perumusan ideologi.
Kasihan sang pertiwi
Di pecah belah oleh anak kandung sendiri
Kasihan sang proklamator
Di khianati oleh anak-anak yang di merdekakan dengan hati
Maafkan aku bung Karno.
04 September 2019
Ginanjar Gie
^Kopi_kenangan

Pelukan Sunyi Sang Penyair

Oleh: Pena Langit
Seharusnya aku sadar bahwa dengan berpuisi
Tidak mampu menata kembali hati
Ia bukanlah instrumentasi dari puncak rinjani
Bukan pula penulak bala dari wifik bali


Seharusnya pula dari dulu aku sadar
Sesuatu yang di anggap ada telah bersandar
Dalam-dalam pada dinding yang terpendar
Ia jauh dari kota mati yang menyimpan dendam
Babilonia dan plutonium memendam misteri goa

Terungkap sudah setelah filsafat tersurat
Buku-buku menjadi bukti
Perkara hati kini di perselisih
Bahkan cinta punya falsafah hidup

Mungkinkah?

Lantas apa yang akan tertawar di ujung bumi
Laila majnun yang tengah berbaring dengan srigala?
Ataukah pangeran altar yang rala memberi dubur demi kenikmatan menjadi jongos?
Lalu kita?

Apakah yang dinamakn kita?
Punya cinta antara kedua hati
Namun takut akan asumsi setiap mata
Lalu apa maknamu hidup dalam sosial
Jika mencintai saja harus ketakutan pada pandangan orang

Bukan...!!!!!
Bukan itu maksudmu bersembunyi
Wibawamu dalam strata yang menjadi dasar segala
Kau berkata kita adalah satu
Namun hanya di atas ranjang empuk
Setelahnya kita bukan apa-apa
Hanya sebatas tatap sayu yang kian tak punya rasa

Bolehkah?
Bolehkah aku menggugat lewat puisi?
Bolehkah 'ku gugah hati mu yang telah mati
Agar aku dapat menikmati

Meski sakit terpatri dalam diri
Setidaknya aku ingin di akui
Bahwa berpuisi adalah diksi
Permintaan hati yang ingin lepas dari pelukan sunyi
04 September 2019
00 : 30
Ginanjar Gie
^Kopi_kenangan

Pertiwi Berdarah Lagi

Pertiwi Berdarah Lagi
Oleh : Pena Langit
Saat mentari melambai
Membaringkan diri dalam pangkuan semesta
Jari-jari mungil mengepal abadi
Kita akan kembali menjumpai mimpi pada asa
Noda-noda dosa kini tak lagi punya warna
Siapa yang tak membaca ia akan tertipu
Siapa yang tak lihai ia akan terjerambab
Matilah mati dalam dekapan bualan
Bahan-bahan pemoles terlahir dari rahim paris
Kita tinggal saja menjual saham paras
Dengan dalil jual kita memeras
Di atas ranjang pun di atas bilqis
Kita bukan saja bercerita tentang sahaja
Bukan pula tentang keris dan baja
Bukan juga tentang pemindahan ibu kota
Apalagi tentang West Papua yang ingin memisahkan diri dari Indonesia
Ini cerita tentang siapa kita
Kita manusia yang acap kali mementingkan hasrat pribadi
Tak peduli tentang orang lain
Tak peduli tentang dunia
Tak peduli tentang semesta
Bahkan Tuhan kita buat mati
Demi ambisi perut pribadi kita gerogoti perut pertiwi
Lihatlah Tuan-Puan
Kita kembali di permainkan
Satu kata pembunuh Bhineka
Satu suara pengecil aliran darah indonesia
Satu genjatan senjata mengalir dalam nadi ibu pertiwi membasahi tubuh mamawamena.
#Save_papua
03 September 2019
Ginanjar Gie
^Kopi_kenangan

Kisah Kita

Kisah Kita
Oleh : Pena Langit
Waktu yang kian tak berjarak
Namun kita semakin di arak
Tiap setiap yang kita lakukan selalu marak
Mungkinkah sang tetangga yang coba membajak
Seiring waktu berjalan
Kau aku menjadi semesta
Hanya bersua pada kolosal suara
Intrik-intrik sunyi di depan kanvas tua
Tak ada lagi mawar antar pertemuan
Lapuk usia jua lapuk usai
Kita ingin menjumpai pisah
Hanya saja hati ini tak ingin lagi berpaling
Jauh
Sangat jauh
Nun jauh disana
Jarak yang memisah
Jeda yang mematah
Pemisah tubuh dalam wadah
Tinggalkan juntai jumpa di ujung sumpah
Kau telah berubah
Sepenuhnya telah menjadi yang lain
Kudapati dingin di setiap tatapmu
Kudapati liar saat bual bahasamu
Kau mencoba membuatku berpaling
Dengan sifatmu tanpa kata
Mendiamiku tanpa apa-apa
Namun aku tetap tak menggubris
Aku mungkin saja tahu
Bahkan sangat tahu tentang maumu
Kau yang telah berubah
Sifatmu yang telah lain
Namun aku selalu berpikir dua kali
Aku lebih baik menerima kamu yang telah berbeda dari pada harus mencari orang yang berbeda.
Itu saja
03 Sepetember 2019
Ginanjar_Gie
^Kopi_kenangan

Dalil Demokrasi

Dalil Demokrasi adalah :

Bukan tentang skandal seksual.
Tapi siapa yang mampu memberi data aktual.

Bukan hanya sekedar buang sial.
Tapi mampu mengatasi masalah sosial.

Bukan tentang Sang Ratu yang punya hasrat Binal.
Tapi tentang Hasrat membangun infrastruktur yang kekal.

Bukan tentang Siapa yang punya finansial.
Tapi tentang siapa yang punya taring dan juga terkenal.

Karena Demokrasi adalah tentang Bijaksana dan mampu bersikap adil.
Bukan hanya berbicara na-ni-nu tanpa dalil.

Karena Demokrasi adalah pertumbuhan ekonomi dengan di tandai kemajuan daya jual.
Bukan tentang pencitraan yang berujung cikal bakal tangan nakal.

Karena Demokrasi adalah tentang Pemimpin yang punya intelektual.
Bukan yang hanya bisa tebar janji dan selalu membual.
Ginanjar Gie

Luka Kian Menari

Kehadiran yang menyisakan luka
Kini kembali datang menggenggam harap
Menanti asa yang dulu pernah tertinggal
Jauh di sana kini menjadi mimpi harap-harap cemas

Luka kian menari
Memberi harapan jua kenangan
Kemana aku bawa luka hati
Pun jua cinta di hati

Kenangan harapan dan cinta
Melebur menjadi dilema
Di satu sisi kita jua pernah sama-sama luka
Kini haruskah menjalin untuk kembali memeluk kembali harapan itu?

Tanya

Kemanakah kita?
Haruskah ku tinggalkan luka lebam yang pernah ada
Atau haruskah 'ku terima mimpi dengan menenggelamkan luka
Dilema

Dalam sunyi
Aku menyelami mimpi
Memeluk selimut sepi
Sakitnya luka bisakah di perbaiki
Ataukah lagi akan menjadi kenangan
Bersama sisa napas langkah kita

Sampai ini
Sampai saat ini
Aku masih menanti yang pasti
Darimu atau dari jiwa yang benar-benar punya hati
Untukku
Untuk menemani hatiku
Selamanya.

Kenangan Dalam Dawai

Foto : ilustrasi puisi
Lekuk sosok sang terdamba
Di liuk-liuk bayu menyapa
Menoreh kenangan di atas kepala
Ingatan demi ingatan hampir lalu pamit

Hilang pergi datang kembali
Berlalu lalang tanpa perintah
Hadir selaksa burak
Pulang selaksa kilat

Kenangan dalam dawai
Bunyi-bunyi yang tersembunyi
Dalam dendam dendang sinden
Terhanyut jiwa terbasuh payah
Menyatu bersama selendang sutra
Sutra hitam pemberi ketenangan
Pun kenangan

Kembali..!!?

Senar sunyi tanpa suara
Berdendang tanpa kata
Melolong tanpa kuasa
Mengharap dalam asa
Semoga

Ucap kita yang tak sempat bersuara
Dalam dekap doa-doa sekap
Kita sama-sama memilih mati
Demi ego
Kita lalu bercerai dan hilang
Tanpa kabar
Tanpa kata
Tanpa pena
Gie
01 September 2019
08 : 50 pagi
^Kopi_kenangan