Wahai Langit

foto : pena langit bersama adinda dika
Jalanku kini suram
Hitam yang dulu abu kini menyelinap di sudut mata.
Memberi bekas sesak dalam~dalam
Hingga langit kini tak bisa lg ku jumpai

Harus ku kemana lagi?
Jalanku kini suram
Tiada apa-apa disini
Kehampaan dan penyesalan akan masa lalu masih tetap terang membuntuti
Hingga langkah terkulai layu tanpa arah.

Kemana arah langkah kaki kini harus berpijak
Sementara langit masih jua gelap
Mega tak lagi menawan menemani
Cahaya apa lagi
Kini hilang bagai di hempas badai yang tak berkesudahan.

Hampa
Hanya asa masih memberi semangat untuk menghirup udara
Sementara yang lainnya kemana
Kehidupan kosong di tiap jengkal arah jarum jam berdetak menghampiri.

Wahai langit
Cukupkah ini jalan ini
Ataukah masih ada ribuan kubangan yang akan kau timpali
Untuk segala kisah-kesahku yang tak kau bimbing dengan indah.

Wahai semesta
Jika skenariomu adalah jalan memberatkanku
Maka akan aku terima ini sebagai pintalan cahaya yang akan menerangi
Sebab aku masih cukup punya energi untuk melewatinya dengan tabah.

Langitku
Ingatlah pinta dan asa ini
Bahwa segala soal yang kau tautkan dalam kisah hidupku adalah aksara-aksara yang akan aku rangkai untuk dunia
Bahwa dunia akan mengenang ini sebagai motivasi kehidupan peradaban yang akan datang.

Yakinku
Bersama doa dan harapan
Kuserahkan segalanya pada ayat-ayat yang tertulis di Arasy-Mu
Semoga
Ginanjar Gie
28 Desember 2019
Pena Langit di ujung Bima

SATU HARI NANTI

Foto : ilustrasi puisi
Sekali lagi kutulis satu dua bait semacam puisi untuk meraih kepalamu yang agaknya mulai menghilangkanku, tapi kata-kata selalu berhenti di tengah-tengah paragraf untuk menagih satu jantung yang pernah kujanjikan akan memberi nyawa barang beberapa denyut. Itu adalah jantungmu; denyutmu; perasaanmu; atau apa saja tentangmu yang pernah kau hadiahkan padaku.

Satu bait lagi lahir, merengekkan kehampaannya. Aku mencari ke seluruh penjuru kamar, barangkali ada senjata yang tertinggal—entah itu tetes tinta atau kusamnya buku puisi. Namun aku tidak menemukan apa-apa, hingga pada esoknya aku menatap matamu lalu menyadari; bahwa di kedalamannya, ia merampungkan rumpangnya puisiku.

Sorak sorai tergelar di lidahku. Aku merayakan kelahiran utuh puisiku dalam tubuhmu. Pada kau; tangan yang menggenggam, mata yang menyelam, lidah yang menyulang, juga pada kaki yang menyilang, kutemukan semua yang diagung-agungkan para penyair.

Aku bermimpi akan kebahagiaan dan lagi-lagi kutemukan pada senyummu.
Aku menginginkan kesepian dan kelukaan, dan ya, segalanya ada padamu.

Setelah semua ini, aku berjanji untuk berjuang melewati semua yang berat. Semoga jarak berkenan untuk segera dilipat, sebab rindu kita sudah tanak, sudah ranum, sudah siap untuk diruahkan.

Maka tunggulah sebentar lagi, hingga satu hari nanti aku tiba di pelukanmu; merengekkan hari-hari yang pelik saat tanpamu.

Dan pada hari itu, akhirnya,
aku punya kau untuk menenangkanku.

Bualan Dua Periode

Foto : ilustrasi puisi
Lembaga-lembaga yang tercipta
Dari tangan besi pemotong sel-sel penjara
Yang orange di kampus menyuarakan kebenaran
Yang orange di penjara menyuarakan kemunafikkan
Sebab kembali lembaga penuntut umum kini di bungkam lewat jalur kertas

Kertas meretas sejumlah kasus
Kasak kusuk ramai berbincang cincang
Yang hilang karena berorasi biarkan menjadi misteri
Sebab gayus dan nazaruddin bebas dari jeruji ketika di kerangkeng
Tuhan-tuhan kembali menjadi saksi nepotisme antar para elit

Lalat-lalat bertebrangan di pinggir piring
Mengelilingi meminta sesuap nasi
Ucapku silahkan berlandas di atas putih yang tak berlauk
Sebab kita adalah korban yang hanya diantar hanya sampai didepan pintu gerbang kemakmuran

Visi-misi itu tidak bisa kita kerjakan secara langsung semuanya
Sebab jangka-jangka waktu telah di rancang
Kita tunggu waktu realisasi
Jika tidak maka tunggu  periode selanjutnya
Asal kalian mau memilih
Akan aku bayar nilai dengan moral
Sebab periode harus di lanjutkan agar selaras pembangunan infrastruktur
Dan
Itulah tanda demokrasi berjalan pincang
Gie
21 Sep 2019
^Kopi_kenangan

RUKUHP Jadi Bualan PHP

Foto : pena langit
Tak ada konsepsi semesta
Tak ada teori negara
Tak ada tatanan sosial
Pun tak ada gerakan yang pasif

Lampu-lampu penerang kini redup
Pikiran terpenjara oleh ulah penyelundup
Tak ada guna bertelungkup
Sebab peluru telah meletup

Pion-pion tergerak tanpa intruksi
Agen-agen basis menerawang
Intai-mengintai demi kepentingan
Laksanakan perintah titah kepentingan

Lembaga-lembaga umum berdiri sebagai pengalihan
Independen terbaca dalam kacamata di tunggangi
Orasi kini hanya jadi suara oral
Kita cari nama untuk sekalian menjadi viral

Sang wakil gugup dan gagap saat audiensi di atas mimbar
Perjanjian lama di buka atas nama revolusi
RUKUHP kini jadi bualan PHP
Di hutan sana penggundulan hutan tanpa HPH
Omong kosong
Kosong-kosong
Hasil Nol

Kopi Kenangan

Foto : ilustrasi puisi
Kopi kenangan telah mengoyak hati
Di arak waktu berulang kali
Saat cangkir kembali ter-isi
Dengan sang Hitam pemberi inspirasi

Embun kini tersapu mentari
Waktu berputar seiring orbit lintas rotasi berlari
Pikiran dan hati masih tertuju pada satu intuisi
Kenang-mengenang saat bibir berucap janji
Tuk saling berpaut meski di landa badai

Namun kini telah hilang bersama mimpi
Denganmu yang memilih tak kembali
Hadir disini sebagai penghibur sepi
Disaat cinta tak lagi terkendali

Kau pergi bersama dia
Yang membuat diri di balut luka
Bersama mimpi-mimpi bahagia
Kukubur ingin dalam muram durja
Lukaku bersama Segalanya
Diarak waktu Cinta ini kubungkam selamanya
^Kopi_kenangan
Gie
23 Des 2019

Kontras Sunyi Sejarah Cinta

Foto : pena langit bersama mahti
Kasih yang berkesah dalam perjalanan kisah
Risih risau perasaan resah
Pilih terpilah menghadirkan peluh
Getar gemetar dada bak di cambuk halilintar

Sekilas pengantar

Jamrud khatulistiwa dalam mata
Masih terlintas dalam nostalgia
Harapan hampa selalu berasa
Ingin bersua dengan sorot mata peneduh jiwa

Gadis moskow
Kau biru mataku
Indah tatapanku
Dalam setiap dialek bisumu
Kontras sunyi sejarah cinta
Padamu harapan ini masih tertuju
Ginanjar Gie
13 Oktober 2019
^Kopi_kenangan

Langkah-langkah Cinta

Foto : pena langit bersama nurhayati
Dalam bingkai keharmonisan
Merangkai sila dalam rahim
Membangun kesepakatan dengan emosi
'Tuk satu cita keselarasan dalam sosialis

Menikmati jalan menuju jalan
Jalan-jalanan menuju perjalanan
Pilihan sebuah pemilihan
Ideal-isme ataukah idea-logis
Sentris menuju kelompok ataukah semesta

Langkah-langkah Cinta menyatukan kebutuhan
Keselarasan menjumpai keadilan
Bagaimankah langkah akan terlangkah
Melangkahi sajak-sajak langit
Melanggengkan kesadaran solidaritas

Lanjutkanlah
Perjuangan tetap berjalan
Panjang umur perjuangan
Kita dan kami adalah bara selaksa yang kn membakar tiap line birokrasi
Ginanjar Gie
09 Oktober 2019
^Kopi_kenangan

Torehan Rasa Pada Tinta Pena Langit

Foto : pena langit
Aku yang begitu lama menanti suara surga
Mendamba pengharapan sampai pada tujuan
Namun hanya aku
Kau
Tidak juga

Waktu menelanjangi segala keyakinan
Jiwa kini hendak ditidurkan dalam pembaringanan abadi
Kau
Tidak juga memahami

Jika tidak pada syahdu lafaz indah mu
Adakah guratan aksara mati yang hendak kau sampaikan pada buta ku
Dalam aksara-aksara hampa yang tengah ku nikmati

Agar aku paham dan setidaknya melihat
Di mana
Ada suara surga yang tak sanggup di ucap bibir manis mu

Aku terbiar berdiri sendiri pada jalan berkabut bayang mu
Aku terbiar untuk memahami bahwa aksara ku hanya harapan hampa
Torehan rasa pada tinta pena langit hanya untaian aksara basi
Buta.
Dan mati.
^Kopi_kenangan

Dongeng Hegemoni Elektabilitas

foto : pena langit
Kenapa kepadaku kini konsep kosong
Tanpa cahaya kebenaran dalam pemaparan
Syarat pengetahuan bangsa yang terkuasai
Tuhan hanyalah pelampiasan dongeng hegemoni elektabilitas

Aku kata katakan 'ku lihat
Jalan-jalan dalam lemari yang di gerogoti tikus
Sengaja terpelihara dalam tubuh hitam sang saka
Daun-daun biarkan berguguran dimana-mana
Masih ada petugas pembersih yang akan memungutnya dalam selokan

Lintasan Kornea menjadi strata sosial
Ilmu terpendam jauh dalam Bumi
Dalam diri jauh tertusuk duri
Mumpuni masih jauh di ujung sana
Ya
Sudahlah
Yang penting syarat sertifikat dan kertas yang berstempel kita akan di akui
Ginanjar Gie
13 Oktober 2019
^Kopi_kenangan

Kau Puisiku

foto : ilustrasi puisi
Disisi sunyi kudapati kebimbangan
Disisi terang kudapati sudut hampa
Di balik rindu tersimpan sesayat luka
Derita jiwa ,cinta di balik tirai malam

Akulah hamparan gundah yang tak pernah kau temukan
Mimpi dalam mimpi membalut kisah dalam dilema
Lika-liku kehidupan membawa pada cakrawala yang mematikan
Rintihan rindu tak jua terobati
Jiwa kian menyiksa dalam sudut malam

Ahhhh...
Mungkin kali ini harus ku ikhlaskan cinta merenggut segala-galanya
Menjadikan diri hilang dalam ada yang tak pernah sadar
Membalut nyeri dalam luka yang tertawa di ujung pena

Kau puisiku
Makna yang tertawar tanpa makna
Hingga lahir fatwa tanpa dosa
Memberi peluang asa yang menganga

Aku bingung
Aku takut
Aku benci
Aku muak dengan ini semua
Aku tak ingin kamu sekarang

Kau telah merenggut segalanya
Kau telah melenyapkan semuanya
Kau telah memba-bi-bu kan segala suara
Kau betina liar yang memenjara pikiranku
30 September 2019
^Kopi_kenangan
Ginanjar Gie

Rona Indah Sang Pengusik Jiwa

foto : ilustrasi puisi
Tiada aku disini
Bersama lagu-lagu jiwa melayang
Terbang tinggi melampaui semesta
Melewati atmosfir-atmosfir pikiran
Hilanglah jiwa dalam diri

Pena penantian menggores sakit
Putih suci menampung bulir-bulir mutiara di sudut netra
Jatuh tertetes di sampul-sampul yang ter-sketsakan
Rona indah sang pengusik jiwa tergambar disana
Di dalam tinta yang telah tertoreh

Di atas kertas wajahnya tercipta
Pada semesta pikiran bersama Pena Langit
Jatuhlah bubuhan-bubuhan tinta
Jadilah jadi-jadian
Terharap

Sua
Adalah asa yang terlampir dalam cita
Semoga
Ingin ini pada yang di damba
Ginanjar Gie
03 Oktober 2019

Biarkan Sang Waktu Berlalu

Selamat pagi Tangsel kini aku rindu
Rongsokkan
Tak ada yang peduli
Kekiri-kekanan tanpa ada hirau
Siapa juga peduli
eks.

Dalam rinai ranum hari
Panas Jalan Berteduh pohon dalam pengapnya aspal licin
Membludak pikiran rentan tentang satu
in

Jalan-jalanan seharusnya masih sepi
Namun Sesak menyeruduk tanpa henti
Hilang ilalang dalam naungan firdausi
Rapal demi rapal kini naik tanpa bukti
on

Hmmmmm
Sudahlah
Ikhlaskan saja

Biarkan pagi datang
Biarkan sang waktu berlalu
Sebab hadir  yang terharap adalah doa yang tak pernah terkabul.
Gie
12 sep 2019
#kecewa
^Kopi_kenangan

Politik Rahim Kepentingan

foto : potret Bimaku
Janin-janin terlahir dalam rahim tanpa dosa
Dogma-dogma terlahir dari kubangan nista
Terpenjara makna dalam kesepakatan
Warna-warna kubu penjara kebebasan
Ego kesemestaan terbunuh dalam rahim kepentingan
Mencengangkan
Gie
24 sep 2019
#edempa
^Kopi_kenangan

Sorot Mata Yang Memuakkan

foto : ilustrasi puisi
Sekejam inikah hidup
Setiap mata yang tertatap Adalah luka yang menyayat
Membubuhi kenikmatan dengan kesakitan
Kesaktian yang mencabik
Dari sorot mata yang memuakkan

Lesung pipi yang memberi racun
Senyum sumringah yang membabat logika
Kemenangan yang kau dapat
Kebohongan di ujung gincu yang kau tawari dalam bait-bait setan

Hari demi hari terlewati dalam alunan merdunya suara
Auman yang membangunkan tidur dari lelap yang menjumpai mimpi indah
Tiap setiap bisikan ruh adalah nikmatnya hari
Entah dengan apa harus melewatkan waktu

Ahhhhhhhh
Iblis betinaku
Kau pembual yang menyesatkan
Benci...!!!!!!!
Gie
06 Oktober 2019
^Kopi_kenangan

Pena Langit Dalam Intuisi Puisi

Pena langit saat tampil bersama peserta juara satu sampela mbojo Mone. (Teguh Setiawan)
Semua dialektika selalu punya asas
Realis didalam rasio cara pandang
Mengajak menyusuri langit akan terbawa
Bersama Pena Langit dalam intuisi puisi

Keberadaan kini di pertanyakan
Luapan emosi kembali bergejolak
Persoalan Negara syarat perdebatan
Laungkan kekecewaan pada adab kepemimpinan

Instrumen pikiran kembali bermain
Mengacak sejarah yang tertanam dalam memori
Luapan-luapan aksa kembali terangkai dalam media
Syarat menjadi pribadi di intervensi oleh kepicikan berdialektika

Dada-dada di busungkan dalam syarat mencari nama
Siapa yang berdalih menang dia yang pegang liang
Kuburan masal pelacur-pelacur intelektual
Syarat menggurui menjadi yang besar
Hadirkan wacana tanpa solusi
Niscaya kau jadi pejuang tanpa implementasi
Sajak Gie
25 September 2019
^Kopi_kenangan

Berteriak Di Simpang Kiri Jalan

l
Memar mata saat melihat
Mulut terbungkam dalam semat
Sejarah-sejarah tercurah pekat
Tebalkan aksara sebagi penebal muka

Intruksi tanpa komunikasi
Sk-sk terlahir dalam narasi tanpa tuan
Sang tuan malas memelas asih
Lantas pada siapa tinta pertanggungjawaban
Jika yang punya nama tak mengakui keberadaannya

Kita berteriak di simpang kiri jalan
Perbaiki struktural juga sistem pemerintahan
Namun dalam tubuh masih menyimpan ribuan racun
Racun yang paling mematikan adalah lahirnya ketidak-percayaan dalam tubuh sendiri

Hmmmmmm
Sampaikan saja salam hormat
Kita bukan orang yang berambisi menuju midas
Sebab luka kawan-kawan masih terawat
Syarat perjuangan dengan ikhlas
Ginanjar Gie
13 Oktober 2019
^Kopi_kenangan

Suara Orasi Kini di Anggap Najis

foto : ilustrasi
Realistismu kini semakin sinis
Menebas membabat bebas
Apatismu menggorok sadis
Kaum borjuis menjelma sebagai pengemis
Menanam bibit-bibit komunis

Demokrasi sebagai topeng kapitalis
Nasionalis terkikis menipis
Menggoyahkan menara yakinku yang miris
Hingga tercipta bait-bait puitis
Yang akan menggubris generasi milenealis
Pembungkam intelektual era modernis

Suara orasi kini di anggap najis
Perkumpulan hanya menambah jumlah basis
Di kebiri dalam tatanan lalu di tiris
Generasi di hegemoni dengan kata narsis
Hingga demokrasi berujung orasi wacana revormis

Negeri dunia mistis
Misteri gunung berapi menjelma pembunuhan misterius
Pengalihan isu hingga pada penutupan kasus
Ironi negeri mengalahkan rumit rumus kalkulus

Widji tukul dan munir kini menjadi simbol pembungkaman kebenaran
Generasi tak lagi berbicara keadilan
Sebab simbol telah terbungkam dengan nilai ketenaran
Kasihan
Gie
19 September 2019

Kiri Jangan Di Anggap Komunis

foto ; sang penyair
Hendakkah kau paham apa yang ada disana
Disudut jendela semesta tersimpan keris
Disudut kitab-kitab kiri ada jalan menuju revolusi
Disudut kitab-kitab kanan terpendam janji surga

Ya.....
Sudut Buku yang tengah ku baca
Sejarah tergores tangan-tangan penguasa
Hegemoni tercipta oleh rezim pencitraan
Kalau-kalau di tanya apa capaian dalam kepemimpinan

Lihat saja pinggiran buku
Ia adalah jendela dunia
Pembungkam pikiran liar manusia
Membunuh nalar liar dalam melunasi hutang
Jauhi kiri sebab syarat komunis
Dekati Kanan sebab Surga tengah menanti

Persilatan penjilat adalah mainan elit
Boneka tinggal ikan menjadi pembunuhan masal
Hegemoni kekuasaan semakin leluasa
Hegel telah mati di sudut buku pinggiran kali kalong

Sudah
Sudahi
Ini hanyalah syarat aturan
Aamiini saja
Sebab jangan sampai kita membuat satu gerakan yang membuat instabilitas negara
Ucap mereka di atas kursi panas.
Ginanjar Gie
18 Oktober 2019
^Kopi_kenangan

Literasi Kiri Untuk Indonesia yang Lebih Harmoni

Foto : ilustrasi puisi

Oleh : Ginanjar Gie

Lintas semesta bernyanyi
Menjumpai titik-titik yang tak tersentuh
Kalimat dan kata-kata berkeliaran di jalanan
Di kepala terpendam sejuta aksara

Rangkain kalimat suci tertuang dalam kertas
Kalimat semesta tertuang dalam literasi
Meng-abdi abadi untuk Negeri
Lintasan atmosfir terlampui dalam intuisi
Menjumpai langit-langit fatwa
Hadirkan ayat-ayat kehidupan dalam bingkai

Pena langit berbisik di ujung tinta
Di ujung pena luapan aksara tertuang dengan indah
Bait-bait ayal kini terangkai memuji
Kekuatan merangkai yang di rahmati
Ucap hati kata terima kasih
Tuhan yang Esa telah memberi

Literasi kiri untuk Indonesia yang lebih harmoni
Mencapai puncak asta hegemoni
Wujudkan mimpi peradaban yang di ridhoi
Mengabadikan diri dalam wujud tinta pena yang tertuang dalam tulisan
Gie
26 September 2019
Bacalah dari kata yang tak pernah tersurat
Membeli luka yang telah lama terawat
Di ujung mimpi nasib-nasib terkungkung
Jauhi mimpu dekati kenangan
Sebab semua semu adalah keindahan membelai

Jamrud katulistiwa terlihat disana
Jauh di dalam pikiran terlihat dengan seksama
Namun disini di depan mata
Tak ada disini di depannya
Mata saja tak mampu melihat dirinya

TEGASKAN!!!
Hatta semua semu adalah keindahan
Ingatlah para sopies berceloteh
Mereka pecinta pikiran
Mereka pecinta yang tak terlihat
Ingatlah
Ini adalah

Esensi
Eksistensi
Pikiran
Mata
Hati instrumen terakhir dalam perenungan
19 Oktober 2019
Ginanjar Gie
^Kopi_kenangan
#Kampus_STIE_Bima

Pelabuhan Cinta

Foto : Penulis sedang mengantar sang kekasih 
Sapa yang akan memberikan kenangan
Dalam diam hati berbisik
Mungkinkah luka akan terobati
Mungkinkah bisa hidup tanpa dekapan mesramu lagi


Lampu-lampu kerlap-kerlip pemberi cahaya
Berikan ribuan bayangan semu
Luapan rasa cinta kini mendidih
Hati menangis hingga bulir mutiara terjatuh di sudut bibir
Air dari mana yang mengalir di pelipis mata

Sumpah
Aku bosan
Sebab tak pernahku biarkan ia mengalir
Meski kematian datang menjemput semua urat nadi dalam kehidupan

Kenang
Segala kenangan terukir menjadi sakit
Sebab sakit adalah hilang raut yang setiap saat terhadap
Kini harus hilang bersama kapal menuju samudera
Pemisah pulau pun raga kita
Nun jauh disana hati tak ingin ini terjadi

Kembali
Lambain tangan bersama air mata
Kau ucap akan kembali dalam dekat waktu
Semoga terdengar ucapku pada Tuhan
Harapku dalam kebisingan para pengantar Masing-masing keluarga

Jauh
Lambain tangan kini semakin samar
Bersama hitam malam samarkan wajah indah
Sinar rembulan memeluk ku dalam sunyi
Siapkan diri hidup dalam kesepian
Kesendirian
Hampa
02 Oktober 2019
^Kopi_kenangan

Mimpi

Foto : ilustrasi puisi
Perlahan keraguan mulai tumbuh
m
Memupuk rasa takut yang kian mematahkan semangat
Memenjara imaji tetap terkungkung
Lafazkan kata perkata dalam satu yakin

Tanya
Masih bertanya

Apakah harus jiwa ini tetap menjadi musafir ataukah pencarian ku akan tersendak oleh gulana dari bingkisan jiwa
Ataukah melepaskan semua ini
Lalu menghilang bersama pintasan cahaya

Masihku terjemahkan
Lain yang mengingatkan telinga
Tafsiran tanpa batas
Jagad tak mampu memapah
Namaku jauh terlampaui

Ku sudah semuamya
Kembali ku pada satu
Harapan pada mimpi
Impian
Yaa
Meraih mimpi merupakan impian semua jiwa
Namun bagaimana jika dlm menggapainya terbentang mistis yg tak pernah terbaca
Bingung
Gie
13 November 2019
^Kopi_kenangan

GENERASI PRAGMATIS

Penulis
Jubah kebinatangan
Alih fungsi jadi perangkai puisi
Sementara bait tengah di tuang dalam liarnya jiwa
Sastra kini hilang nilai etika maupun estetika

Loakkan adalah kata yang paling baik
Terucap fatwa dalam lingkaran cangkir
Kuping gelas kembali di raih
Sssstttt nikmat kopi tak senikmat sampahnya pikiran kalian

Mengambil alih alur pikiran
Mengabdi pada pikiran orang lain
Tanpa sadar pelacuran di kuasai nafsu
Rangkaikan saja satu bait 'tuk meraih sang jelita
Ucap kata tanpa takut
Meng-aku-kan diri dari cipta yang di ciptakan pikiran orang

Kasihan
Generasi pesimis
Generasi pragmatis
Ingin rasanya kembali membaptis
Agar setan-setan yang ada dalam darah serakah terbunuh oleh ilmu yang di transfusi
Bosan
Ingin hilang
Ingin memaki
Namun aku hanyalah pengajar
Tidak pendidik
Apalagi terdidik
03 Oktober 2019
Ginanjar Gie
^Kopi_kenangan

Keterpurukan wajah di Negeri Dongeng

Foto : ilustrasi puisi
Siapa yang di salahkan jika Negara begini?
Siapa yang bertanggung-jawab jika bangsa saling menuntut?
Siapa yang harus bergerak?
Siapa yang harus diam?
Siapa yang akan di tuntut?
Siapa yang akan menuntut?

Mahasiswa bersuara
Mereka teraniaya
Mereka di bungkam
Korban hegemoni sang hitam
Papua bersuara ingin merdeka
Sebagai korban RKUHP wujud pengalihan
Pasukan bersenjata di tarik kembali membunuh mahasiswa
Sipil bersenjata biarlah membunuh kawan-kawan pribumi
Suku-suku kembali membuat kubu
Kotak-kotak pahaman radikal menggugat mereka
Siapa bersuara di bunuh dengan kejam
Kasihan para pengaman Negara
Korban busur dari bualan PBB
Hak Asasi yang akan menjadi syarat berpisah dari NKRI
mari membaca aksara yang tak tertulis
Di balik mimpi membangun Negeri
Kepentingan mesiu dan bubuk hitam faktor utama
USA dan Jerman saling tebar kepentingan
Jakarta jadi persembahan darah
Darah mahasiswa yang terpropagandis oleh kepentingan penggerogot perut ibu pertiwi
Hahaha
Mari membaca
Tetap pada huruf-huruf yang tak pernah tertulis
Kita tunggu tanggal Dua Puluh
Bangkai manusia akan berguguran di jalanan
Masing-masing membela kepentingan
Siapa cepat dia dapat
Penggilingan
Penggulingan
Kita akan lihat wajah siapa yang akan terpuruk
Tunggu saj sejarah buram akan kembali tercatat
Syarat kepentingan masih tetap yang paling utama
Masyarakat sadar nilai akan kembali di wacanakan
Syarat terbentuk Negara berkemajuan
Negeri dongeng tetap bermain dan bernaung dalam setiap pikiran
Sudahlah
Titip saja semua cinta pada harapan
Kita bangun kembali semua yang telah rusak
Revolusi demi revolusi akan kembali di gaungkan
Yang jadi orator akan menjadi elit politik
Syarat inilah setiap dinamika terjadi
Mari lantunkan kalimat bual di atas mimbar
Demi rakyat kita turun ke jalan
Demi nama kita korbankan darah kawan
Ironi negeriku
25 September 2019
Ginanjar Gie
Kopi_kenangan
Ratapan malam yang menyayat kalbu
Tangis seakan jadi teman sejati dalam kesunyian yang sendu
Diam dalam gelap harapku
Seakan menjadi kesepian abadi dalam jiwaku
Kehampaan jadi lukisan duka di hatiku
Bila kumerindukan dirimu....

Negeriku Katanya

Puisi untuk negeriku
Negeri yang katanya Permusyawaratan perwakilan
Negeri yang katanya bersistem Demokrasi
Negeri yang penguasa dan elit politik yang katanya membawa perubahan

Katanya adil dan makmur bagi seluruh rakyat indonesia
Katanya Kemerdekaan mengantarkan rakyat kedepan pintu gerbang kemakmuran
Yaaaaa
Negeriku Katanya..!!!!

Dalam tanda tanya kita mau kemana
Revormasi menuju demokrasi
Demo yang tak berujung ada di pinggir jalan
Parlement jalanan menuntut keadilan
Jawaban dari ketidak adanya jawaban
Dari negeri ku yang katanya
Pemberi janji tiap periodesasi
Elit-elit bangsat yang senang membual

Lembaga-lembaga penuntut umum di bangun
Bangunan elit habiskan uang nagara
Dalil demi dalil pencitraan penunjang nama
Akhir kata lepentingan pribadi dan kelompok yang menjadi prioritas

Pembangunan intelektual lagi-lagi hanya wacana
Akal sehat di bungkam dan di penjara di bawah kubangan
Intelektual di buang di pinggir selokan
pendidikan jadi praktik kapitalisasi kaum borjuasi

Demokrasi adalah dalil periodesasi
Luka lama kembali terulang setiap Pergantian periode
Siapa yang berjanji siapa yang melaksanakan
Tak ada jalan untuk kembali percaya akan syarat kepemimpinan

Negeriku demokrasi
Untuk kekuasaan segala cara untuk di halalkan
Termasuk jual kepala
Pun bayar perkepala

Lembaga-lembaga umum kini mulai Bungkam
Tanpa alasana suara berikhtiar
Kerja nyata membangun sumber daya hanyalah wacana
Demokrasiku yang hampa

Luka Bertubi-tubi

Foto : Penulis
Lelahlah hari
Kau memberi lagi satu sayatan kasih
Menikam berkali-kali hingga luka mengulam pedih
Saat langit senja menari dalam tuaian kemilau jingga

Kenikmatan kasih yang telah hilang dalam ikrar sahabat tengah ku urai dalam puisi
Segala intuisi beserta kenangan telah menyatu dalam makna kata-kata
Berharap sunggik dari kasih sayangmu datang memapahku
Namun kau tak jua mau mengerti

Kau buta dalam penglihatanmu
Ambisi ingin di mengerti tetatp terdalih dalam gerak bibirmu
Sementara jauh disini
Pikiranku Nun jauh di ujung semesta
Bersama sahabatku yang kini terbang ke nirwana

Kenikmatan dalam membelai telah ku pelajari
Memeluk sunyi dari tungku yang di bakar sendiri
Hingga tak sempat ku berjabat dengan rindu
Kepergian dan kehilangan kembali menyambuk hati

Lalu
Kenikmatan mana lagi yang harus ku telusuri
Sementara segala lara telah ku telanjangi
Hati nelangsa dalam buaian mimpi
Jua sakit akan kata pisah dari hati yang di harap untuk menemani saat pedih

foto : Penulis
Kemana lagi kaki akan memapah
Kemana langkah akan terarah
Penjuru kota telah habis
Bekas tapakkan bisa kau lihat di pinggir trotoar

Langkah
Langkahilah
Sudahi perjalanan ini
Tiada ada tujuan dalam pencapaian
Selalu kata hampa yang datang menghampiri

Luang
Luangkanlah waktu
Lihatlah aku disini
Bersama luka yang makin melebam
Bersama mimpi yang tengah tak pasti
Menunggu sempat untuk hadirkan takdir dalam pangkuan
Agar kebahagian tiba di masa yang akan datang
Meski tidak dengan wajahmu
Tapi dengan jiwamu yang telah memenjara kehiduapanku
Doaku

Nostalgia Lara

Foto : ilustrasi puisi
Lantunan adzan berkumandang mengiringi kepergian
Mengantarmu pada liang lahat
Pada pembaringan abadi setiap jiwa
Yang terikrar di tiap falsafah kehidupan

Teriring air mata di atas nisan
menjumpai pedih yang terketuk dalam batin
Semburat senyum persahabatan kian menertawa
Kenang-kenangan membawa pada cakrawala yang hilang

Tuhan...
Bukanku menyalahkan takdir
Bukan pula ku kutuk sabdamu
Bukan juga ku gugat kasih sayang dan rahmatmu

Namun...
Tuhan....
Inikah sakit yang tertawar dari setiap skenario takdirmu
Inikah bukti dari cinta yang kau cipta untuk penyatuan
Inikah balasan atas setiap kasih kita pada manusia
Inikah yang di rasa untuk setiap untaian tali rahim yang terikat pada kata persahabatan


Mengapa?
Mengapa harus ada pertemuan
Jika pertemuanberujung perpisahan
Memberikan luka
Menanam benih-benih kepedihan
Mematikan hasrat dan nafsu pada setiap yang menumbuhkan saraf

Tuhan....
Tak terwakilkan kata sakitnya
Telah kehabisan kalimat untuk mengurainya
segala dilema atas kepergian sahabat yang baru saja kemarrin menemaniku minum kopin sambil mengsap rokok di tengah kebekuan malam
Bercerita tentang pahit manisnya perjuangan dan tentang kenikmatan dalam berorasi untuk sesama

Kenangan itu
Segala kalimat motivasi
Semua retorika yang menginspirasi
Teukir dan tercatat dalam pikiran

Ahhhh
Kembali
Sebutir embun yang tak di undang hadir di sudut pelipis
Menemui bayang wajah sahabat yang kini telah tiada
Meracuni rasa yang ingin kembali  bercengkrama
Atas ide-ide jail yang pernah teucap dalam canda setiap kita bersama

Rasanya...
Kenapa harus ada rasa yang demikian
Kenapa Demikian sesakit ini merelakan kepergian
Bukankah kemarin kau memerintahkanku untuk belajar?
Kemarin kau mengocehi segala perbuatan yang melanggar untuk di perbaiki

Namun
Hari ini kau diam membisu seribu bahasa
Bahkan teriak dan isak tangisku di telingamu tak kau hiraukan

Apakah kau tuli?
Sobat........
Bangunlah
Mari berdansa denganku dalam alunan lagu kebangsaan
Suara kita adalah suara yang akan menggetarkan istana

Ayo sahabat bangunlah
Jangan diam
Jangan mebisu seperti ini
Bangunlah.....

Ya..... Tuhan...
Gilakah aku
Hilangkah kewarasanku?
Kenapa tak kau bangunkan ia
Kenapa kau renggut kehidupannya

Tuhannnnnn

Seribu kali kata waras ada di kepalaku
Namun kenangan ini berjuta kali menyambuk derita
kepergianna adalah kehilangan keseimbangan kehidupa
Maka kembalikan ia dalam bentuk yang sempurna
dalam reinkaarnasi untuk penemani hidupku
Bukan wajahnya
Bukan jiwanya
Tapi anak yang sedang di kandung istrinya tolong selamatkan ia sebagai pemberi hidayah untuk menyembuhkan segala luka bagi orang-orang yang telah di tinggalkan.

Rabbana atina fiddunniya hasanah wa fill akhirratil khasanah wakina azzabarnar






TENTANG YANG HILANG

Foto : ilustrasi puisi
Semua berlalu tanpa makna
Seseorang yang terharap jadi pelipur lara
Kini pergi meninggalkan luka
Memberi sakit sesakti Bara

Bermula pada ambisi
Ingin memiliki cinta dari sang tambatan hati
menjadikan diri terbunuh sepi
lalu lalang begitu ia tetap pada pelukan sunyi

Mendekapku dalam penantian abadi
Berharap abdi menjadi sisi pembaringan hati
Atas rasa yang kian menjadi
Menjadikan diri ini sebagai sanduran hati

Sungguh
Kau berlalu tanpa kata
Kabar tiada ada
Kemana kamu aku tiada
Tau apa tentangmu sama siapa

Tolong
Lihatlah
Palingkan pandangan untuk sekedar menoleh
Ada hati di sini yang tengah menanti
Bersamamu hadir sebagai pelipur lara

Datanglah
Buatlah rangkaian kataku menjadi bermakna
Karena Puisi ini ku tulis untukmu
Untuk hatiku yang telah di culik sepi
Atasmu yang pernah singgah lalu pergi

Lihatlah
Serangkai kata kini telah menjadi Rima
Menuangkan segala pilu kenangan yang ada
Jauh sudah telah ku tempuh masa
Menjalin cinta di atas bahtera
Namun kini telah tenggelam di dalam samudra
Bersama irama jemari dalam karya

Setalah sekian luka yang telah terawat dalam hari-hari yang di lewati
Kini aku mulai ber-intuisi
Untuk krhadiran secara utuh dalam pikiranku juga dalam hidupku
Harapku
Gie
10 September 2019
^Kopi_kenangan

Kenalan Di Dunia Ghoib

Foto : ilustrasi puisi
Dalam malam yang gelap, kulewati hutan-hutan kota yang telah tersulap menjadi tempat muda-mudi bermadu kasih.
Ku temui seorang gadis yang memanggilku dengan siulan mesra di balik batang pohon lebat, sedang aku adalah pemyda kolot yang baru saja pindah ke kota.
Aku mendekati arah gadis yang bersiul dengan mesra, bersama keberanian yang terkumpul sedari tadi dengan rasa gemetar ku selami tangannya, dengan wajag yang di pasang se so sweet mungkin.
"Ujang" ucapku sambil menyodorkan tangan kepada gadis tersebut.
sang gadis menjaeab dengan suara yang seakan mendesah
"Laras"
Percakapan dimulai, dari sabang sampai merauke habis sudah di bahas, lalu kami terdiam karena telag kehabisan kalimat untuk di bicarakan.
Si laras kbali membuka suara dengan nada yang sedikit dipadukan seperti para penyanyi Jazz
"Ujang nama panjangnya apa"
Dengan sedikit tersipu coba ku rangakai maksud pertanyan, yang kemudian ku tepis dengan mimik muka yang mengajak untuk bercanda.
"Bujangan ras" jawabku
Laras tak mau kalah, rupanya ia lagi sensitive, tanggapannya sangat menakutkan hingga bulu kuduk mulai berdiri.
Ia tak segan membuka sabuknya sambil memasang muka garang yang seajan melahap, kemudian berkata.
"Laras panjang" Sambil memperlihatkan senjatanya di balik selangkangan.
Perasaan takut yang tak terduga menyerang diriku, keringat dingin berkucuran di malam dingin membasahi bajuku. Dengan seribu alasan tanpa pikir panjang yang melebihi laras panjang mengambi langkah lalu berlari.
Laras tak mau kalah, ia mengejarku dengan senjata yang tak kembali di masukan dalan sarung, lalu berteriak "jangan lari" sambil mengejarku dan terus mengejar.
Aku kelelahan, tak ada tenaga, tak ada ide, dalam situasi gawat darurat bahkan melebihi tanda plus yang ada di atas ruang operasi.
Laras masih berteriak sambil mengejar dari belakang, sedang aku telah masuk kedalam semak-semak berduri guys.
Malam gelap yang hanya di tertawakan oleh bintang, si laras yang tengah mengejar dan terys mengejar berada di belakangku, aku terus berlari, di tengah nafas yang tersengal-sengal, konsentrasi rada buyar, aku berlari dengan kecepatan tinggi hingga membawa aku pada jurang kematian.
Aku terjatuh dan berteriak minta tolong dengan suara yang lantang. Kemudian aku terbangun dengan suara yang masih tergaung dalam ingatan juga gerakan mulut.
06 September 2019
Ginanjar_Gie
^Kopi_kenangan

Sedang Tak Ingin Menulis

Foto : ilustrasi puisi
Sedang Tak Ingin Menulis
Oleh : Pena Langit

Jauh ku lampaui waktu
Di sudut bibir-bibir pantai telah tertelanjangi
Samudera lepas landas dalam tabir cadas
Vulkanik menyapu lazuardi di sudut lima
Mata kepala jadi saksi
Mata hati jangan ditanya...!!!
Kemuskilan memutar waktu menjadi tombak nestapa
Ketakutan mengungkap tabir menjadi tonggak-tonggak tua yang tak ternila
Ketakutan akan rasa mengiba nasib dalam-dalam
Ketakutan pada wajahmu menghukum nurani kemerdekaan
Laungkan kata pada kataku
Aku ingin menikmati gerak bibirmu
Dalam satu lafaz cadel satu huruf
Mim-pi dan harapan adalah pertemuan
Asa
Masih jauh
Sangat jauh
Jauh langkah
Jauh mimpi
Jauh kata
Jauhilah bisa bisa-bisa
Sebab luka yang terawat dengan diam akan berbuah dendam yang menyakitkan
Memberi seribu peluang untuk dekat
Memberi sejuta peluang untuk berajak
Jauh tak berjarak dekat tak menyatu adalah kita
Ketahuilah
Pengetahuanku melebihi hatiku
Namun logika tak pula mampu untuk menetralisir
Segala polemik berkecamuk di atas arasy
Nafsu pun enggan memberi perintah
Selesai usai ku wakili
Semu-semu terbuang percuma pada dinding-dinding dingin
Terpendam terendap bersama bulir embun
Pagi jua tak tau mau menyapa dengan apa
Jauh
Sangat jauh
Semua telah kulewati
Bahkan kata lewat masih tak sempat melewati
Di satu titik tanpa kata dan tanpa suara
Disana pembaringan semesta menyetubuhi pikiran didi diriku
Ketahuilah
Sedang kupikirkan pikiranku
Sedang ku telusuri indra perasa ku
Namun yang ada aku tak merasa
Rasa-rasa kini bagai perasaan
Aku sedang tak ingin menulis
Namun wajah pena bercumbu denganmu dalam kepalaku
Kepala yang mana jangan di tanya
Sebab kepala asumsi pun konsumsi kita beda persepsi
Lihatlah ini malam
Kata-kata tak terangkai yang telah menjadi paragraf
Sedang penulis enggan memegang pena
Sketsa-sketsa wajah kini mulai buram
Hilang ilalang di balik nasib malang
Kau tau
Kuwakili dan ku akhiri dengan tinta
Bahwa semua pengetahuanku tiada ada
Jika pertimbangan adalah kamu
Bersama takdirku
Camkan
Sajak Gie
06 September 2019
^Kopi_Kenangan

Mama Wamena Adalah Indonesia

Foto : ilustrasi puis
Mama Wamena Adalah Indonesia
Oleh : Pena Langit

Adakah kau terbuang saudaraku?
Apakah Jawa telah pelik menatapmu?
Adakah aku jua yang di tengah-tengah menjadi penonton?


Tidak saudaraku
Kalian adalah saudaraku
Terlahir dalam satu rahim Pertiwi
Cendrawasih adalah semboyanmu juga Aku
Kita sama-sama dalam satu sistem yang menyesatkan

Tapi dengarlah kata-kataku
Kita harus lebih pintar dari para perintis revolusi
Bukan membunuh diri dengan mengibarkan yang bukan Merah Putih
Cukup Timor-timor yang hitam yang telah menjadi legam

Kita jangan lagi
Lihatlah saudara ku
Kita adalah Kata Indonesia
Satu huruf terhapus maka akan bermakna ambigu
Lihatlah saudaraku
Kulitku juga hitam
Darahku merah
Tulangku putih

Satu kata tak berperikemanusiaan tidak akan merubah warena itu
Kecuali kita selipkan mick-up untuk mendadani mama Wamena.

Cobalah tengok
Mick-up itu mesiu OPM
Mick-up itu peluru paham radikal
Kita bukan itu
Kita Indonesia

Tanyaku padamu saudaraku
Dari dalam lubuk hati yang paling dalam
Tentang sakit yang membuat menawarkan darah
Dimana pembaringan Mama wamena?
Agar bisa ku selipkan doa dalam setiap hariku.

Bukan itu saudaraku
Kita adalah satu
Jauh didalam kata-kata para sampah adalah propagandis
Bukan kita yang berbicara
Namun uang dalam Rekening Barat yang telah meng-gema-kan gaungan itu

Lihatlah saudaraku
Kritik dari timur telah aku pahami
Namun kita sama
Kita dekat dengan Ibu kota
Namun hanya kata ibu yang ada dalam diri kita
Kota nya telah lama mati
Kota mati

Ya
Kota mati yang isinya para makhluk hidup
Di dalamnya segala spesies tercampur
Namun satu yang di lupakan
Peradaban etika dan estetika

Lihat saja

Kita sama-sama mengenal gedung dari buku
Kita sama-sama melihat megahnya metro politan di dalam TV
Kita sama-sama melihat Monas akan di terbangkan ke Kalimantan lewat imajinas

Lihatlah
Betapa besar skenario sistem
Ia menghegemoni pikiran seluruh makhluk
Bahkan jika mampu
Tuhan-pun akan di tipu

Suadaraku
Ini adalah kataku
Kata pena sang penyair
Yang menulis tentang hati
Bukan kepentingan bubuk hitam apalagi emas mentah

Saudaraku
Dengarlah
Lihatlah
Kembalilah
Kita damai
Kita Indonesia
Sajak Gie
05 September 2019
^Kopi_kenangan

Sayang Bima Ramah

Sayang aku tak ingin kisah kita seperti laila majnun
Rindu tak berpenghulu yang berujung pilu
Karena seharusnya kita harus sadar akan sejarah
Bahwa luka yang di rawat dalam-dalam akan membawa dampak pada kesehatan serigara.
Sayang ingatlah, aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Sesederhana Visi-Misi Bima ramah tanpa realisasi keramahan
Bimanya kemana?
Ramahnya seperti apa?
Kabur dalam segala netra
Lihat saja sayang
Yang ada hanya cinta jalan-jalan
Dan kita akan mengarungi itu bersama-sama
Sebagai buah dari goresan waktu
Pun sejarah hati yang pernah patah karena di tinggal kan dengan label janda.
04 September 2019
Ginanjar Gie
^Kopi_Kenangan

Ratapan Sang Pertiwi

Ratapan Sang Pertiwi
Oleh : Pena Langit
Jemari malam kian merayap
Memutar bumi hendak meraih fajar
Namun jarum masih saja berdenting tiap detik
Keinginan hati haruslah terkandas pada satu sistematika
Rumusan 137 masih bersarang di kepala
Partikel-partikel kecil pemberi bentuk Bumi
Bumi bulat mana yang tak terlihat datar?
Disini kita bertanya pada hati
Karena pikiran bukan lagi rasional yang akan kentara
Kosmosku semesta
Rasiku bima sakti
Kita berada tepat di bawah naungannya
Zeus dan segala macam bentuk dewa telah lama mati
Kini Tuhan bersemayam dalam diri tiap setiap yang berkeyakinan
Makam-makam Tuhan mulai di bangun
Kita di giring untuk berziarah
Sementara dalam dalilnya aku ada dalam dirimu
Lalu kemana kita akan bersandar?
Pahaman rasis kini terkena razia
Bukan pelanggar lalin yang harus dapat penanganan
Kepala saja harus di penjara dalam cokol kepala segelintir kepentingan
Kasihan sang sosialis india
Ia berkata tak mampu penjarakan pikiran
Sementara kiri kini di hegemoni sistem
Kau mau apa?
Makam mu hanya tempat pergi berziarah
Selepasnya kenangan tak akan terulang
Karena begitu suara radikal di gaungkan
Pasukan bersenjata siap membantingmu dengan paksa
Kasihan si kepala
Butuh nutrisi namun di suguhkan zat aditif
Rajia narkoba seharusnya yang paling utama
Namun buku-buku kini jadi sasaran utama
Mirislah negeriku
360 adalah gerakan paling indah dalam astronomi
Simbol tiga di ambil oleh APBN Untuk pembangunan SDM
Namun kita tetap menjadi juara
Juara dua dari bawah dari 63 Negara
Literasi berkemajuan bukan?
Satu sentilan yang berbeda pahaman akan menuai penjara
Satu kata yang tak berkemanusian akan menuai pecah belah
Analisis tanpa arti di cerminkan oleh para elit
Seharusnya meraka pemeran utama adegan FTV
Bukan malah menjadi aktor utama perumusan ideologi.
Kasihan sang pertiwi
Di pecah belah oleh anak kandung sendiri
Kasihan sang proklamator
Di khianati oleh anak-anak yang di merdekakan dengan hati
Maafkan aku bung Karno.
04 September 2019
Ginanjar Gie
^Kopi_kenangan

Pelukan Sunyi Sang Penyair

Oleh: Pena Langit
Seharusnya aku sadar bahwa dengan berpuisi
Tidak mampu menata kembali hati
Ia bukanlah instrumentasi dari puncak rinjani
Bukan pula penulak bala dari wifik bali


Seharusnya pula dari dulu aku sadar
Sesuatu yang di anggap ada telah bersandar
Dalam-dalam pada dinding yang terpendar
Ia jauh dari kota mati yang menyimpan dendam
Babilonia dan plutonium memendam misteri goa

Terungkap sudah setelah filsafat tersurat
Buku-buku menjadi bukti
Perkara hati kini di perselisih
Bahkan cinta punya falsafah hidup

Mungkinkah?

Lantas apa yang akan tertawar di ujung bumi
Laila majnun yang tengah berbaring dengan srigala?
Ataukah pangeran altar yang rala memberi dubur demi kenikmatan menjadi jongos?
Lalu kita?

Apakah yang dinamakn kita?
Punya cinta antara kedua hati
Namun takut akan asumsi setiap mata
Lalu apa maknamu hidup dalam sosial
Jika mencintai saja harus ketakutan pada pandangan orang

Bukan...!!!!!
Bukan itu maksudmu bersembunyi
Wibawamu dalam strata yang menjadi dasar segala
Kau berkata kita adalah satu
Namun hanya di atas ranjang empuk
Setelahnya kita bukan apa-apa
Hanya sebatas tatap sayu yang kian tak punya rasa

Bolehkah?
Bolehkah aku menggugat lewat puisi?
Bolehkah 'ku gugah hati mu yang telah mati
Agar aku dapat menikmati

Meski sakit terpatri dalam diri
Setidaknya aku ingin di akui
Bahwa berpuisi adalah diksi
Permintaan hati yang ingin lepas dari pelukan sunyi
04 September 2019
00 : 30
Ginanjar Gie
^Kopi_kenangan

Pertiwi Berdarah Lagi

Pertiwi Berdarah Lagi
Oleh : Pena Langit
Saat mentari melambai
Membaringkan diri dalam pangkuan semesta
Jari-jari mungil mengepal abadi
Kita akan kembali menjumpai mimpi pada asa
Noda-noda dosa kini tak lagi punya warna
Siapa yang tak membaca ia akan tertipu
Siapa yang tak lihai ia akan terjerambab
Matilah mati dalam dekapan bualan
Bahan-bahan pemoles terlahir dari rahim paris
Kita tinggal saja menjual saham paras
Dengan dalil jual kita memeras
Di atas ranjang pun di atas bilqis
Kita bukan saja bercerita tentang sahaja
Bukan pula tentang keris dan baja
Bukan juga tentang pemindahan ibu kota
Apalagi tentang West Papua yang ingin memisahkan diri dari Indonesia
Ini cerita tentang siapa kita
Kita manusia yang acap kali mementingkan hasrat pribadi
Tak peduli tentang orang lain
Tak peduli tentang dunia
Tak peduli tentang semesta
Bahkan Tuhan kita buat mati
Demi ambisi perut pribadi kita gerogoti perut pertiwi
Lihatlah Tuan-Puan
Kita kembali di permainkan
Satu kata pembunuh Bhineka
Satu suara pengecil aliran darah indonesia
Satu genjatan senjata mengalir dalam nadi ibu pertiwi membasahi tubuh mamawamena.
#Save_papua
03 September 2019
Ginanjar Gie
^Kopi_kenangan

Kisah Kita

Kisah Kita
Oleh : Pena Langit
Waktu yang kian tak berjarak
Namun kita semakin di arak
Tiap setiap yang kita lakukan selalu marak
Mungkinkah sang tetangga yang coba membajak
Seiring waktu berjalan
Kau aku menjadi semesta
Hanya bersua pada kolosal suara
Intrik-intrik sunyi di depan kanvas tua
Tak ada lagi mawar antar pertemuan
Lapuk usia jua lapuk usai
Kita ingin menjumpai pisah
Hanya saja hati ini tak ingin lagi berpaling
Jauh
Sangat jauh
Nun jauh disana
Jarak yang memisah
Jeda yang mematah
Pemisah tubuh dalam wadah
Tinggalkan juntai jumpa di ujung sumpah
Kau telah berubah
Sepenuhnya telah menjadi yang lain
Kudapati dingin di setiap tatapmu
Kudapati liar saat bual bahasamu
Kau mencoba membuatku berpaling
Dengan sifatmu tanpa kata
Mendiamiku tanpa apa-apa
Namun aku tetap tak menggubris
Aku mungkin saja tahu
Bahkan sangat tahu tentang maumu
Kau yang telah berubah
Sifatmu yang telah lain
Namun aku selalu berpikir dua kali
Aku lebih baik menerima kamu yang telah berbeda dari pada harus mencari orang yang berbeda.
Itu saja
03 Sepetember 2019
Ginanjar_Gie
^Kopi_kenangan

Dalil Demokrasi

Dalil Demokrasi adalah :

Bukan tentang skandal seksual.
Tapi siapa yang mampu memberi data aktual.

Bukan hanya sekedar buang sial.
Tapi mampu mengatasi masalah sosial.

Bukan tentang Sang Ratu yang punya hasrat Binal.
Tapi tentang Hasrat membangun infrastruktur yang kekal.

Bukan tentang Siapa yang punya finansial.
Tapi tentang siapa yang punya taring dan juga terkenal.

Karena Demokrasi adalah tentang Bijaksana dan mampu bersikap adil.
Bukan hanya berbicara na-ni-nu tanpa dalil.

Karena Demokrasi adalah pertumbuhan ekonomi dengan di tandai kemajuan daya jual.
Bukan tentang pencitraan yang berujung cikal bakal tangan nakal.

Karena Demokrasi adalah tentang Pemimpin yang punya intelektual.
Bukan yang hanya bisa tebar janji dan selalu membual.
Ginanjar Gie

Luka Kian Menari

Kehadiran yang menyisakan luka
Kini kembali datang menggenggam harap
Menanti asa yang dulu pernah tertinggal
Jauh di sana kini menjadi mimpi harap-harap cemas

Luka kian menari
Memberi harapan jua kenangan
Kemana aku bawa luka hati
Pun jua cinta di hati

Kenangan harapan dan cinta
Melebur menjadi dilema
Di satu sisi kita jua pernah sama-sama luka
Kini haruskah menjalin untuk kembali memeluk kembali harapan itu?

Tanya

Kemanakah kita?
Haruskah ku tinggalkan luka lebam yang pernah ada
Atau haruskah 'ku terima mimpi dengan menenggelamkan luka
Dilema

Dalam sunyi
Aku menyelami mimpi
Memeluk selimut sepi
Sakitnya luka bisakah di perbaiki
Ataukah lagi akan menjadi kenangan
Bersama sisa napas langkah kita

Sampai ini
Sampai saat ini
Aku masih menanti yang pasti
Darimu atau dari jiwa yang benar-benar punya hati
Untukku
Untuk menemani hatiku
Selamanya.

Kenangan Dalam Dawai

Foto : ilustrasi puisi
Lekuk sosok sang terdamba
Di liuk-liuk bayu menyapa
Menoreh kenangan di atas kepala
Ingatan demi ingatan hampir lalu pamit

Hilang pergi datang kembali
Berlalu lalang tanpa perintah
Hadir selaksa burak
Pulang selaksa kilat

Kenangan dalam dawai
Bunyi-bunyi yang tersembunyi
Dalam dendam dendang sinden
Terhanyut jiwa terbasuh payah
Menyatu bersama selendang sutra
Sutra hitam pemberi ketenangan
Pun kenangan

Kembali..!!?

Senar sunyi tanpa suara
Berdendang tanpa kata
Melolong tanpa kuasa
Mengharap dalam asa
Semoga

Ucap kita yang tak sempat bersuara
Dalam dekap doa-doa sekap
Kita sama-sama memilih mati
Demi ego
Kita lalu bercerai dan hilang
Tanpa kabar
Tanpa kata
Tanpa pena
Gie
01 September 2019
08 : 50 pagi
^Kopi_kenangan