 |
Foto : ilustrasi tulisan |
Seseorang yang membuat aku sadar bahwa cinta seharusnya tak perlu di salahkan dalam segala hubungan namun hasrat yang meng-ingin-kanlah yang seharusnya kita singkirkan agar tidak datang rasa kecewa yang teramat dalam mencekik aliran darah hingga diri lupa akan keberadaan diri untuk melanjutkan hidup dengan sepi.
Pergulatan diri dalam memaknai sunyi selama ini telah tercoret dan terhapus oleh lekukan senyuman wanita yang mempesona, seakan memberi isyarat untuk menyumbui namun jauh di dasar jiwa wanita yang di kagumi telah tergoles luka legam yang membuatnya hancur lebur dalam memaknai arti kehadiran sesosok hati yang ingin memberi kasih sayang yang untuk menyemai luka dari masa lalu.
"Kata-kata dan do'amu adalah kebencianku" sebuah kalimat yang mewakili intrik sunyi dalam hati kita, yang kemudian menjadi sandaran untuk tetap bertahan pada kesepian. Kata-kata tersebut adalah ungkapan yang mewakili rasa sakit karena kisah masa lalu yang sakit.
Mungkin sebuah riwayat dan adegiu yang selalu di ucapkan di tiap-tiap mimbar dakwah dan yang di kutip oleh para motivator bahwa " Yang paling mengecewakan ialah berharap pada manusia". Ada kalanya aku harus percaya dan mengimani ini meski motivator-motivator itu adalah pembual besar bagiku karena memberi motivasi dengan syarat membayar dengan mahal agar dapat mendengarkan kata-kata yang sudah tak asing kita dengar tapi anehnya kita tetap menikmatinya. Ya mungkin kata-kata yang sudah sering kita dengar dan kita tetap menikmatinya ini sama seperti yang 'ku rasakan saat ini.
Rasa sakit yang tersayat dalam-dalam yang di bungkus dengan senyuman. Berusaha tak terlihat oleh siapapun sebab ini adalah rasa sakit yang menjadi aib diri kare tak mampu move on dari rasa sakit dan kenangan yang telah di beri oleh seorang yang kejam meninggalkan tanpa rasa.
"Orang-orang kesepian sengaja bersikap dan bertingkah aneh agar kesepian yang ia rasakan tidak pernah di rasakan oleh orang lain." itulah gambaran yang bisa ku katakan untuk kehidupanku saat ini, yang mungkin kau juga merasakan akan hal demikian dengan penjelasanmu di tiap kata-kata yang kau ucapkan saat menuturkan kekecewaanmu atas luka itu.
Kita memang sama-sama terhanyut dalam kekecewaan yang begitu dalam ketika panca indra tak mampu menghalau dan menyingkirkan apa yang telah di dengar dan dilihatnya untuk tidak di sampaikan pada otak agar tidak memberi tahukan pada hati bahwa yang di kagumi dan yang di cintai adalah ketiadan kata-kata tanpa bualan.
Sejuta kiasan yang terlontar dengan tafsiran penolakan yang 'ku maknakan bermain dalam pikiran yang hendak ingin membungkam lalu membuangnya kelautan, namun bisikan lembut dari bibir merah tanpa pewarna itu selalu bergeming dan bergema selaksa sang ifrit membisikan angin surga keabadin dalam rongga siti hawa hingga mengharuskan keduanya terbengkalai dalam memendam rindu karena terpisahkan jarak antara marsyik dan magrib.
Ya......
Seharusnya sedari dulu aku sadar bahwa ada nilai yang harus di bayar dengan harga ketika memberi harapan besar pada hati untuk meminjam hati untuk bersandar demi hasrat yang ingin menyatukan antara hati ini dengan keindahan luka yang telah lama kau rawat dalam dendam kesumat yang kau bungkus dengan hijrah ataupun yang kau umpan dengan nama cita-cita.
Aku seharus nya tak memupuk rasa ini hingga tumbuh terjang di atas tanah tandus dan kering tanpa humus-humus rasa yang termetamorfosis dari bangkai-bangkai rindu yang telah kau sekap dalam-dalam pada dinding ilalang yang menghalau antara kebenaran cinta dan kebenaran luka yang kau rawat dengan indah sebagai hasil dari kepercayaan yang telah di khianati.
Kau pernah berkata padaku bukan?
"Cinta tak seharusnya hadir disini, menghardik batin yang ingin membangun hubungan tanpa keselarasan rasa."
Lalu aku menjawab dengan lirih "Luka apa yang telah kau telan hingga aku kau jadikan sebagai tumbal atas tirani hati yang telah me-majazikan diri dalam ingatan sakit?"
"Aku sebenarnya tak mengutuk maut pun jua takdir namun aku hanya mengutuk waktu yang telah salah menulis skenario takdir untukku"
"Bukankan segala masa lalu adalah guru yang baik untuk bersikap bijak jika kita mau merununginya?"
Kau tak bersuara. saat itu kau bungkam, kau diam dalam kata-katamu. Kau memilih menyembunyikan semuanya lalu pergi tanpa pamit dengan derai air mata yang entah apa akan di tafsirkan dengan buliran mutiara yang telah membasahi indahnya lesung pipimu.
***
Waktu terus berlalu, Sang surya telah berkali-kali mengatupkan matanya lalu datang menawarkan sejuta lembaran baru di setiap pagi demi mengusir embun pagi di atas rerumputan pagi dan juga mengusir bulir mutiara yang meniti ke dalam hati saat rintihan seorang lelaki rapuh yang tengah menanti cinta terjabat oleh tangan yang penuh dengan kesumat dendam karena luka.
Sampai pada suatu ketika di saat jingga menghiasi pelataran langit barat. Kita bertemu. Ya pertemuan yang tanpa perencaan dan kesepakatan. Kita bertemu dalam satu waktu dimana kau di ajak menikmati kopi bersama teman satu ruangan mu di meja kuliah. Dan aku? Tak usah tau aku sama siapa dan kenapa aku berada di taman amahami saat itu, karena setiap senja pekerjaanku adalah menunggu gelap datang sambil berharap ada raut dan tanganmu yang melambai untuk 'ku raih di ujung cakrawa semesta pikiranku.
Belum sempat ku nikmati imaji yang tertata dalam penantian yang entah sampai kapan akan berakhir dan entah sampai kapan kalimat Jalallufin Rumi berfungsi, karena yakinku bermunajat "Tangan yang satu tak akan mungkin bisa bertepuk tanpa tangan yang lain."
Ya...
Saat pikiranku menjumpai langit-langit atmosfir dan belgulat dengan rindu yang membuncah namun tempat sandarannya telah menutup katup seumpama lubang cacing yang di paksa oleh kekuatan Zeus untuk kembali tertutup karena roh jahat dari dewa kegelapan harus di musnahkan dan tidak boleh melewati lapisan ozon karena akan merusak stabilitas energi dan kehidupan di Bumi.
Saat itu kau datang menyapa dengan lembut hingga diri antara sadar dan tidak antara percaya atau tidak, namun kehadiranmu begitu membuatku bahagia meski sunggik senyum dan lesung pipimu sekarang sudah tak tulus lagi (dalam tafsiranku). Namun rasa kaget mampu di kuasai oleh kebahagian karena betapapun hati ini sakit karena kebisuanmu namun kehadiranmu bersama senyum sang penyihir mampu menghipnotis pikiranku hingga dalam waktu yang cukup lama perasaan ini tercampur antara rasa kagum dan ketidak percayaan bisa melihatmu kembali di tengah kerinduan melanfa jiwa sepiku.
Kau datang dengan sedikit malu-malu, lalu mengajak dan meminta waktuku
"Abang aku minta waktu. Aku ingin bicara, abang punya waktu?"
Antara gugup dan gagap, antara iya dan tidak menyelimuti, antara percaya dan tidak, pikiran saat 'ku dengar ucapanmu yang meng-inginkan dan meminta waktu untuk mengobtol denganku, tentunya perasaanku sangat senang mendengar itu, namun ketakutan untuk mendengar kata tiada harapan lagi diriku untuk membuka hati untuk cinta yang lain dari mulutmu-lah yang membuat diri ini merinding dalam ketakutan bahkan mengalahkan rasa takut saat bertemu wewe gombel bahkan maklampir sekalipun.
"Ya ada bahkan sangat luang jika untukmu"
"Hehe iya abang" jawabmu sambil menggeser pipi indahmu hingga lesungnya terlihat sempurna.
Lalu kau berucap dengan bahasa yang saya sama.
"Abang aku minta waktu"
"Iya aku punya banyak waktu luang untukmu"
"Bukan itu maksdku abang"
"Lalu?"
"Aku minta waktu untuk bisa menjawab dan menata kembali hatiku"
"Aku ingin hijrah dan aku ingin meraih cita-citaku"Lanjutmu setelah terdiam dengan jeda yang cukup lama.
Aku tak lagi mampu menjawab, semua ketakutanku menjelma nyata bagai ramalan Ki Joko Boyo yang meramalkan nasib dan pembangun Negara Indonesia kedepanya. Semuanya, semua yang terlitas dalam benakku sebelum berbicara denganmu sempurna terlaksana dengan baik hingga tanpa sadar bulir mutiara menetes tanpa tau rasa malu dan harga di depanmu yaa.... di depanmu.
Aku terdiam dalam durasi yang cukup lama, mengembalikan perasaan yang cukup sakit karena di rajam kalimat saktimu, namun tak bisa ku paksakan karena saat kau ucapkan itu aku berusaha mengendalikan diri untuk berbijaksana dalam diri bahwa masa depan lebih utama dari pada segalanya, termasuk cinta buta dan perasaanku terhadapmu.
Dengan perasaan kikuk kucoba mengalihkan pembicaraan dengan menutupi segala pergulatan yang ada di kepala.
"Lalu rencana dan cita-citamu kedepan bagaimana?" Jawabku setelah bisa mengendalikan diri dari perasaan kecewa karena terlalu berharap.
"Aku ingin fokus belajar dan mendekatkan diri kepada-Nya, agar semua yang aku butuhkan dan yang aku cita-citakan bisa berjalan sesuai rencana"
"Baguslah, fokuslah pada tujuanmu karena Proses tak akan mengkhiati hasil dan begitupun sebaliknya"
"Lalu cita-cita abang apa?"
"Cita-citaku sederhana sesederhana fajar yang selalu berjanji untuk tetap memberi mimpi pada siang dengan cahaya kehidupan"
"Wihhh, soscuiiitt" jawab sambil menyunggingkan pipimu yang selaksa bakery jepang.
"Maknanya apa abang?" lanjutmu
"Cita-citaku sederhana yaitu bisa menikah denganmu dan hidup berdua sampai hari tua, sampai akhirnya di kemudian hari aku akan setia kalau sudah ada gerhana bulan, matahari kembar lima, bintang kecil berderet di bumi. Salah satu tak ada yang hidup, kecuali aku dan kamu. Suatu saat nanti, mati pun kita bertemu di surga, dan neraka pun kita tempati bersama. Kemudian aku hilang, dan kamu hidup
sempurna." Jawabku namun dalam hati yang tak sempat terucap oleh lisan sebab keluh kesah batin antara menjadi pribadi yang bijak atau menjadi pribadi yang egois yang mementingkan hasrat untuk mendapatkanmu berkecamuk dalam pikiranku (Catatan kaki). Dan yang bisa ku lakukan ialah tersenyum sambil memandang wajahmu yang polos dan alami tanpa polesan modernisasi kecantikan.
Waktu sudah larut, aku kamu dan teman-temanmu telah menunggu sedari tadi karena jam tutup gerbang kos-anmu segera tiba (cieeehhh kaya menunggu gebyar BCA aja, segera tiba). Dan kita? Ya kita yang kutulis dalam cerita biografi cintaku segera berpamitan sambil meminta tanganku untuk kau letakkan di dahi sebelum berangakat bersama teman-temanmu.
***
Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, kita? Ya aku dan kamu yang 'ku tulis dalam cerita kehidupanku. Masih berhubungan dengan baik layaknya tak ada apa-apa dan seharusnya tak apa-apa karena aku tak bisa juga bersikap egois lalu memutuskan hubungan pertemanan kita lantaran kau menolakku dengan tujuan untuk meraih masa depan dan cita-citamu. Justeru aku memaksakan diri untuk men-suport dan memberi motivasi agar kiranya kau tetap fokus pada tujuan hidupmu.
Kita tetap saling menghubungi antara satu sama lain dan saling meminta pendapat jika ada satu persoalan atau satu tugas yang di berikan dosen untuk di kerjakan. Kit saling memberi masukan dan saling mengisi satu sama lain layaknya mahasiswa pada umumnya. sampai suatu hari yang cerah di depan kampus orange, saat aku sedang menikmati pahit dan manisnya kehidupan yang tercampur di dalam putihnya cangkir dan hitamnya kopi. Menyadarkanku bahwa luka itu masih ku rawat dalam bingkai tali persahabatan yang masih menyisipkan kata harap.
Sebuah tanparan halus tepat mengenai wajah kusamku yang tak terurus (memang dari dulunya selalu begitu) saat kau bergandengan tangan dengan seorang lelaki yang sangat ku kenal, dan panggilan akrabku padanya ialah "Sang Seniman". Kau datang padaku dengan alibi bahwa dia adalah teman satu organisasi dan yang sudah kau anggap sebagai kakak kandungmu (Celotehmu). Namun sangat ku ingat dan kulihat dan 'ku rekam riak tautmu yang menyrmbunyikan kebohongan di dalam sandiwara murahan yang kau sebut dengan cita-cita.
Lalu aku kau dan dia saling berjabat tangan untuk sekedar saling menyapa karena berjabat tangan meruoakan kebiasaan dan rutinitas dan yang telah membudaya dan di budayaka di depan kampus pun didalam kampus.
Kita? Ya lagi dan lagi ku sebut bersama sang seniman sobatku yang kumasukan dalam cerita kita (sebenarnya aku membencinya lantaran dia membuatmu sakit dan sengsara, karena kamu adalah wanita pujaanku, kau wanita yang pertama kembali membuat aku percaya akan cinta).
Kita layak adik kakak seperti yang kau ucapkan dalam bualan terindahmu namun aku yakinkan hati untuk selalu percaya dengan apa saja yang kau ucapkan meski itu sangat menyakitkan bagi hatiku. Ya... inilah resiko mencintai dan membuat diri di hambakan oleh cinta, namun aku menikmatinya selaksa prajurit kerajaan pada jaman pra sejarah yang telah bersumpah mengorbankan hidup dan matinya demi sang raja dan ratu. Namun aku demi kamu. Ya demi kamu yang memberi ku energi menikmati kehidupan meski dengan balutan luka. (Hanya untukku)
Sore telah tiba, canda tawa bersama kita yang entah siapa saja yang masuk dalam kata kita aku tak lagi menggubris, namun waktu telah mengantar matahari ke peraduannya, sang seniman mohon pamit bersama dirimu yang di ajaknya untuk duduk goncengan di atas sadel motor ninja yang mewah.
Mungkin itu yang membuatmu jatuh hati padanya, yaitu motor mewah dan penamoilan yanv menarik serta sepadan dengan penampilan sang seniman yang cukup wibawa. Tapi pikiranku tak berkata demikian karena aku percaya bahwa kamu wanita yang baik, yang tak memandang segi materi untuk berhubungan dan yang sangat mencintai kekasihmu dengan cinta yang tulus
***
Hari yang cerah, panas matahari dalam keadaan normal (sayangnya aku gak bawa termometer, untuk menuliskan suhunya sampai berapa), namun lingkungan sekitar terasa sejuk dengan di belai oleh siulan angin yang sepoi-sepoi yang seakan berbisik tidur dalam buaian mimpi bualan sang waktu, karena bagaimanapun masa lalu yang telah memberi luka akan bisa terobati jika racunnya di obati oleh sang pemberi racun.
Aku sadar dan sangat sadar, bahwa seniman itu ialah orang yang telah memberi warna hitam pada masa lalumu dan datang membawa obat penawar yang kembali memberikan kesucian dan jiwamu kembali pulih dan putih (bukkan so clean yah). Karena terlalu naif rasanya ketika diri ini percaya akan bualan yang kemarin kau ucap.
"Aku takut asumsi publik berbeda dengan apa yang telah aku inginkan, aku ingin hijrah dan ingin sukses menggapai cita-cita-cita, setelah mendapat dan meraih cita-citaku baru aku punya rencana untuk berpacaran atau menjalin hubungan spesial dengan lawan jenis." ucapmu dalam satu percakapan yang menghanyutkanku pada satu dunia yang sempat aku lupakan bahwa cinta adalah sakit yang pernah menggorok nafsuku untuk hidup. Namun saat itu "Ijrail hilang saat lukaku." (Baca puisinya dengan pasword dalam tanda petik di atas). Adalah benar kau berkata jujur namun kau masih mengharapkan dia yang telah menjadi idaman hatimu.
Aku masih sadar, aku tak bisa menepis suara hati dengan logika karena sejati cinta tak harus memilik. Bahwa tak ada hubungannya mencintai dengan ikatan pernikahan. Bahwa hanya orang-orang yang beruntunglah yang kebetulan menikah dengan dan atas dasar yang bernama cinta.
Berulang kali aku menepis dengan logika bahwa aku harus mencari kebahagianku sendiri tanpa diri dan cintamu namun aku masih saja selalu kalah dalam rindu meski dustamu menyakitkan. Meski bualanmu menghujam nuraniku, tapi hati ini tak dapat terkendalikan oleh pikiran.
Aku masih berharap dan terus berharap, berdoa pada setiap malam agar bisa melupakan mu namun bayangan mu masih selalu saja menghantuiku. Bahkan dalam pikiran ku kau terlihat sangat utuh namun tak dapat ku jangkau pun kau membisu dalam kehadiranmu hingga sempurnalah kesepianku.
Sampai suatu malam yang indah, bintang-bintang bernyanyi menyaksikan alunan waktu yang membawa takdir kehidupan setiap manusia pada ujung penyatuan yang dimana tak ada manusia yang tidak ounya jodoh sebagaimana di dalamnya tertulis jodoh maut dan takfir sudah di tentukan.
Aku terhanyut di dalamnya, di dalam doa dan keyakinanku bahwa semuanya sudah tertulis di lauhil mahfudz-Nya, akan di berikan sesui kebutuhan hambanya bukan keinginan hambanya. Begitulah caraku merayu diriku dalam kehening sepertiga malam.
Di tengah senandung do'a yang ku panjatkan pada langit agar tangan Tuhan mengirimkan sang pujaan hati yang bisa menepis rasa cinta dan sakit yang telah di gores dan di beri luka bertubi-tubi, tetiba nada ponsel berbunyi.
"Hallo, Assalamualaikum" ucapku setelah ku pencet tombol hijau di layar handphone
"Waalaikum salam" balasmu dengan isak tangis
"Kenapa dinda sulam?" Tanya ku sambil selidik
"Sang seniman"
"Kenapa dengan dia?"
"Dia telah pergi"
"Kemana?"
"Ke hati yang lain"
"Kok bisa?" Jawabku dengan bulir intan yang entah datang dari mana jatuh berderai membasahi pipi, karena bagaimanapun aku telah merasakan sakitnya di campakkan dan di khianati
"Dia selingku, dan sulam memergokinya saat dia mengajaknya brrkencan di bolly dan membelikan segala keperluan cewek tersebut" lalu kau menutup telephonnya tanpa salam.
Aku kecewa
Kau meradang dalam kehampaan luka
Kita sama-sama sakit.
Ginanjar Gie
20 Agustus 2019
23: 59
#kisah dari langit
#inspirasi dari bumi
^Kopi_kenangan