Naskah Kita
 |
Foto : Ilustrasi puisi |
Menyikapi senja di pinggir kota
Bernafas di antara dua hidung yang sedang bertatapan dengan kasih
Sang jingga mengatupkan matanya sebab malu melihat miris liarku
Menatap tajam jauh tanpa mata
Liar semua dalam keindahan imajinasi
Aku tengah menghayal syurga
Sedang kau tengah menanti apa?
Kita luar dalam liar yang menghantui nafsu
Seuntai kata terucap dalam bibir manis mungilmu
"Aku malu pada rindangnya pakaianku"
"Kau menghilangkan wibawa yang ku tutup rapat dalam-dalam" sambil menitikkan air mata kau berucap pasrah mewakili cinta dan juga kekecewaan sebab luka abadi telah terenggut oleh birahi semu yang menghitamkan pikiran, bersama senja yang siap meninggalkan hitam lalu hitam tertanggal dalam pikiran kita.
Kita?
Tanya tanpa jawab yang kian menggerogoti pikiranku sebelum ku tulis naskah kita dalam diari depresi yang menggilakan pikiran ku untuk melakukakn gerakan gerylia terhadap penindasan cinta yang di wakilkn tuhan pada wanita dengan dengan dalil pencarian taldir dan jodoh yang hari ini telah terenggut oleh maut dan lelaki setan yang menghilangkan nilai cinta dengan desakan orang tua pada nilai-nilai kapitalis yang ku fatwakan di tiap mimbar jalanan. Sayang ini adalah naskah kuta, naskah sakit hati dan juga naskah untuk mrngabadikan kisah kita yang sama-sama liar dalam penyatuan cinta kala itu.
Andai.....!!
Namun tanda seru tak mampu menjawab dari tanda tanya yang memberhentikan tanda koma sebelum tanda titik tertetes di ujung literasi yang kita semai dalam dua tahun sayang. Jalan ini kini jadi sunyi dan mencekam setelah ku lewati dalam kesendirian lalu menghadirkan intuisi untuk mengabadikan kisah kita dalam naskah sakit hati dengan senja yang sangat jahat yang seakan menertawakan nostalgia ini dengan menyengirkan senyuman sinis di ujung antero jingga.
Sayang dengar dan lihatlah naska ini,
Naska yang akan memberikan dogma terhadap kasih, bahwa aku adalah penjara dan gembok pikiranku pada nostalgia yang membawa hati pada nelangsa yang tak berkesudahan.
Tapi....
Semua telah berlalu beberapa menit lalu, kita tengah menikmatinya bukan? Seuntai senja dan sekeping hati yang di bubuhi kasih memberikan cinta dalam syurga yang tak pernah hilang dalam ingatan. Senja yang hilang bersama rongga mu yang memercikkan kemerahan di ujung cakrawal dan ujung majazi liarku.
Aku dan kamu lalu menjadi kita dalam penyatuan yang bersatu, memejamkan mata setelah kujejali telingamu dengan bisikan mesra yang membangkitkan gairah cinta yang aku kamu maknakan dengan sunyi kebisuan yang hanya ada suara desahan nafas yang meronta ingin mengambil kepuasan dari dalam samudra abadimu abadiku. Kita. Yang tercerna semua adalah laku yang indah bukan? Jemari mulus menggerogoti kaki ketiga dalam dimensi kita yang tak bisa terucap dan tak bisa teruntai oleh aksara karena undang-undang dandanan para pemfatwa bualan kosong.
Aku dan kamu. Kita.? Yang tengah menikmati jingga, Menemani senja yang sedang berduka lalu kita sama-sama tertawa sebelum kita sama-sama berduka dalam satu pelukan yang telah merenggut kesucian dan kewibawan kita sayang. Semuanya telah berlalu, kita sepakat tanpa paksa meluluh lantakkan rerumputan hijau dengan tubuh tergeletak tanpa paksa.!!! Sekali lagi tanpa paksa..!!!
Kita adalah dosa bersama yang terencana dengan indah sebelum ikrar kita ucapkan bersama akan pergi dan berjalan bersama di atas altar. Lalu kita bersama menggariskan keturunan dengan menyatukan tangan pada genggaman yang terjanji untuk segera mengakhiri percintaan liar dengan menghadirkan fatwa agama dalam hubungan kita agar semua di akui langit dan adat yang telah kita anut bersama-sama. Ironisnya mimpi bukan?
Kita bersama-sama berjalan tanpa ada keresahan, kita berdua dalam satu genggaman yang tetap menyatu melintasi semak-semak menuju kendaraan yang terparkir di sudut pantai di tepian air pinggiran kota. Aku kamu yang sempat menjadi kita terpatri menjadi satu dan menyatu sebelum kita di hempaskan oleh kenyataan yang sangat pahit untuk dua hati yang berpadu dan terpaut dalam cinta yang kini telah menghilangkan aku dari diriku
Kau datang di suatu pagi dengan senyuman sumringah pada saat itu, senyuman hang paling menawan yang pernaj ku jumpai sejak aku mengenal dan bersamamu, pikirku senyuman itu adalah senyuman keindahan dan keabadian cinta mu, namun seribu kali luka tengah kau taearkan dalam senyum manis bahwa ada jumpa yang tak akan lagi berjumpa setelah kau ucapkan kata dengan halus di sertai bibit titpis mu yang bergeter seakan merasa canggung atas ucapanmu.
"Mada ka nikah ra babae, ndai ta cua hampa sandake mpa, mada wara dou ra pata ba dou ma tua ku ma mai kai ku. Bune c ntika au ra pernah karawi ba ndai re, ta cua nefa sama ra. Labo na cua wara c ana ta peas re, ta ka jodoh mpa ana ta ndai ta sae" (aku akan segera menikah bang, hubungan kita sampai disini saja. Aku sudah ada lelaki pilihan orang tua ku yang datang melamar. Jadi apapun kenangan dan yang pernah kita lewati dan lakukan bersama-sama, tolong hari ino lupakan karena itu akan menjadi kenangan. Insyaallah nanti jika kita punya anak, kita akan menjodohkan anak kita karena sekarang kita tidak berjodoh)
Hancur, semua berantakan dan aku sedang tak lagi mencari dirimu dan apapun kenangan bersamamu sebab aku sedang sibuk mencari diriku yang sebelum aku mengenalmu, dan yang ku dapat adalah ke hampasn dan tetap ada kamu di sini, disisiku yang siap memberontakki pikiranku agar segera menemuimu dalam satu kata perjumpaan pada rindu yang hilang. Istri orang.
Gie
22 Maret 2019
Pena langit di kopa henca
Sateka poja